Aglomerasi, Bagaimana Kita Menyikapi?
MutiaraUmat.com -- Saat ini, Koridor Barat DKI Jakarta menjadi pusat perhatian sebagai kawasan ekonomi yang sangat potensial. Wilayah ini mencakup Tangerang Raya, yaitu Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan. Dengan akses yang strategis, jumlah penduduk yang terus bertambah, serta aktivitas ekonomi yang meningkat, kawasan ini menjadi semakin menarik bagi investor. Pertumbuhan pesat ini juga berkontribusi terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), menjadikan Tangerang Raya sebagai wilayah dengan daya beli masyarakat yang tinggi. Selain itu, dukungan infrastruktur modern yang terus berkembang semakin memperkuat daya tarik kawasan ini. Pengamat properti, Panangian Simanungkalit, menilai bahwa perkembangan pesat di Tangerang Raya menjadikannya lokasi yang sangat strategis bagi investasi. Kenaikan nilai properti dan perkembangan sektor komersial mengukuhkan wilayah ini sebagai salah satu pusat bisnis utama di Jabodetabek (himiunp.ac.id, 10/01/2025).
Namun, di balik pesatnya pembangunan, terdapat dampak yang cukup besar bagi masyarakat. Pemusatan pembangunan di satu kawasan atau aglomerasi justru memicu ketimpangan antarwilayah dan berbagai permasalahan sosial lainnya.
Konsep Aglomerasi dalam Ruang Kota
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aglomerasi adalah pengumpulan atau pemusatan dalam suatu lokasi atau kawasan tertentu, yang erat kaitannya dengan tata ruang.
Montgomery (1988) dalam Kuncoro (2002) mendefinisikan aglomerasi sebagai konsentrasi aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah perkotaan yang terjadi karena adanya efisiensi lokasi yang berdekatan (economies of proximity). Aglomerasi sering dikaitkan dengan terbentuknya kluster ekonomi yang terdiri dari perusahaan, pekerja, dan konsumen di suatu daerah (tempo.co, 04/12/2024).
Dalam konteks Jabodetabek, pertumbuhan pesat Jakarta sebagai kota metropolitan menarik daerah-daerah di sekitarnya untuk bergabung dalam kawasan aglomerasi. Hal ini mencakup Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan, yang secara resmi masuk dalam kawasan aglomerasi sebagaimana tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) Pasal 51 ayat (2). RUU tersebut menetapkan bahwa kawasan aglomerasi meliputi DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi (daerah.sindonews.com, 29/04/2024).
Ketimpangan di Kota Tangerang Selatan
Kota Tangerang Selatan memiliki dua sisi perkembangan yang sangat kontras. Di satu sisi, kawasan seperti Bintaro, BSD (Bumi Serpong Damai), dan Alam Sutera memiliki infrastruktur yang modern, jalan yang mulus, trotoar yang nyaman, serta lanskap kota yang tertata rapi berkat pengelolaan oleh pengembang swasta.
Di sisi lain, wilayah seperti Pamulang, Ciputat, Pondok Cabe, dan Pondok Aren yang dikelola oleh pemerintah justru mengalami keterbelakangan dalam pembangunan. Jalan-jalan di kawasan ini banyak yang rusak, berbatu, serta sering mengalami kemacetan parah. Perbedaan ini mencerminkan kurangnya perhatian terhadap infrastruktur publik yang dikelola oleh pemerintah dibandingkan dengan wilayah yang ditangani oleh pengembang swasta.
Ketimpangan ini juga berdampak pada akses terhadap layanan dasar, seperti transportasi, pendidikan, dan kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan pemerataan pembangunan agar seluruh masyarakat di Tangerang Selatan dapat menikmati kesejahteraan secara merata. Pembangunan tidak hanya sebatas infrastruktur, tetapi juga harus mencakup aspek sosial dan ekonomi lainnya.
Pembangunan dalam Perspektif Islam
Dalam sistem Islam, tanggung jawab pembangunan di berbagai sektor sepenuhnya berada di tangan negara. Mulai dari perencanaan hingga pendanaan, semuanya harus dikelola oleh negara, bukan diserahkan kepada pihak swasta. Pemerintah bukan hanya berperan sebagai regulator, melainkan juga sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyatnya.
Konsep pembangunan dalam Islam didasarkan pada prinsip pelayanan oleh pemimpin kepada rakyatnya, bukan seperti dalam sistem kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan. Negara memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya secara adil, termasuk dalam aspek infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan fasilitas hidup yang layak.
Pendanaan pembangunan dalam Islam bersumber dari Baitulmal (kas negara), yang memperoleh pemasukan utama dari pengelolaan kekayaan umum, seperti sumber daya alam. Dalam sistem Islam, eksploitasi sumber daya alam oleh pihak swasta dilarang, sehingga negara memiliki kontrol penuh untuk mengelola dan mendistribusikannya demi kesejahteraan rakyat. Hasil keuntungan dari pengelolaan ini kemudian digunakan untuk membangun fasilitas umum yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat.
Pemimpin yang amanah akan memastikan bahwa seluruh program pembangunan berjalan dengan baik, tanpa adanya korupsi atau kepentingan pribadi. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah dapat terwujud secara merata.
Dalam Islam, pembangunan tidak hanya berorientasi pada aspek fisik, tetapi juga memiliki nilai spiritual yang mendekatkan manusia kepada Sang Pencipta. Salah satu contoh nyata adalah pembangunan Kota Baghdad pada masa Dinasti Abbasiyah. Khalifah Abu Ja’far al-Mansur melibatkan ulama besar, Abu Hanifah, dalam perancangan kota, sehingga pembangunan tidak hanya memperhatikan aspek fisik, tetapi juga meningkatkan keimanan penduduknya.
Konsep ini juga berlaku dalam pembangunan industri dan perencanaan kota. Negara tidak boleh merampas tanah rakyat dengan alasan proyek pembangunan, apalagi untuk kepentingan asing. Jika memang tanah diperlukan, maka harus ada dialog dengan masyarakat, serta kompensasi yang layak untuk memberikan solusi yang adil bagi semua pihak.
Aglomerasi dalam Islam: Keseimbangan dan Keadilan
Islam memiliki konsep aglomerasi yang berbeda dengan sistem kapitalisme. Dalam sejarahnya, kota-kota Islam seperti Baghdad dan Kairo berkembang menjadi pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, dan peradaban, tetapi tetap mempertahankan nilai-nilai keadilan sosial, akses pendidikan yang merata, serta distribusi sumber daya yang adil.
Dalam konsep tata kota Islam, pembangunan infrastruktur seperti akses air bersih, tempat ibadah, fasilitas pendidikan, dan layanan kesehatan harus tersedia untuk seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Tidak boleh ada ketimpangan antara pusat kota dan wilayah pinggiran, sebagaimana yang sering terjadi dalam sistem aglomerasi modern saat ini.
Selain itu, Islam juga mengajarkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Perencanaan kota dalam Islam mempertimbangkan pemeliharaan ruang hijau, ketersediaan air bersih, serta kebersihan lingkungan. Konsep ini memastikan bahwa pembangunan tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga menjaga keharmonisan sosial dan keseimbangan ekosistem.
Dengan demikian, aglomerasi dalam sistem Islam bukan sekadar pengelompokan ekonomi yang menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh masyarakat. []
Oleh: Noor Hidayah
Aktivis Muslimah
0 Komentar