Pajak versi Kapitalisme vs. Islam
MutiaraUmat.com-- Pembahasan pajak terus saja membahana. Di satu pihak, pemerintah butuh tambahan pemasukan untuk mengcover pembiayaan negara di tengah situasi ekonomi dunia yang tak menentu ini. Dan pajak menjadi pemasukan utama yang terus digenjot dalam negara dengan sistem kapitalisme.
Di sisi lain, kondisi ekonomi yang 'tidak baik-baik saja ini membuat ekonomi masyarakat sulit. Jangankan menyisihkan uang untuk membayar pajak katakanlah sebagai warga negara yang taat pajak. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja terseok-seok.
Kemudian wacana tentang pajak pun berkembang. Seolah-olah begini, "Bayarlah pajak nanti kemanfaatannya akan kembali pada rakyat dalam bentuk fasilitas umum. Tapi sekarang sekarang rakyat banyak yang tidak percaya. Rakyat curiga hasil pajak nanti akan banyak yang dikorupsi.
Atau juga begini, "Bayarlah pajak, nanti dana pajak akan kembali kepada rakyat berupa bantuan sosial dan subsidi." Bukannya itu seharusnya menjadi kewajiban negara untuk memberi subsidi dan bantuan sosial pada rakyat yang membutuhkan tanpa rakyat harus membayar pajak terlibih dahulu. Jika begini terbukti negara hanya menjadi regulator saja.
Dalam sistem Kapitalis, pemungutan pajak dianggap wajar karena tidak ada sistem pembanding. Pajak dan utang adalah sumber utama pendapatan negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Jadi jika pemerintah menaikkan pajak seperti rencana kenaikan pajak PPN 12 % atau menambah barang yang wajib dibayarkan pajaknya, hal itu adalah konsekuensi logis penerapan sistem kapitalisme.
Kewajiban pajak serta kenaikan pajak ini seharusnya membuat rakyat semakin sadar dzalimnya kebijakan ini dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme.
Padahal negara memiliki SDA yang melimpah yang jika dikelola oleh negara akan menghasilkan pemasukan yang sangat besar. Namun karena kapitalisme dan liberalisasi, negara malah menyerahkan kepada asing dan korporasi untuk dikelola mereka dan tentu saja demi keuntungan mereka dengan mengorbankan rakyat.
Berbeda dengan sistem ekonomi dalam Islam. Dalam Islam, pajak hukumnya tidak wajib bagi seluruh rakyat. Islam tidak menjadi pajak sebagai sumber pendapat negara. Negara hanya memungut pajak pada saat tertentu misalnya ketika kas negara kosong dan tak bisa membiayai kebutuhan negara. Itupun pajak hanya akan dipungut dari orang-orang kaya saja dan dihentikan jika keuangan sudah kembali stabil.
Untuk membiayai kebutuhan negara, Islam telah menetapkan sumber pendapatan dari pos-pos pemasukan yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Begitupun dengan pos pengeluaran dari tiap-tiap pos tersebut. Misalnya pos zakat hanya diperuntukan untuk 8 asnaf saja.
Negara dalam Islam justru menjamin pemenuhan kebutuhan rakyatnya sehingga rakyat hidup sejahtera ini dikarenakan negara menjalankan fungsi riayah sehingga rakyat aman dan sejahtera seperti yang ada pada sabda Rasul Saw.
"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia akan bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya (HR Al-Bukhori). Wallahu alam Bisshowab.[]
Oleh. Fauziyah Ali (Aktivis Muslimah)
0 Komentar