PPN Tetap Naik: Mengabaikan Suara Rakyat dalam Petisi Penolakan



Mutiaraumat.com --  Pemerintah Indonesia akan memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara guna mendanai program prioritas Presiden Prabowo Subianto, termasuk program makan bergizi gratis yang memerlukan anggaran sebesar Rp 71 triliun dalam APBN 2025.

Selain itu, kebijakan ini juga mendukung agenda pemerintah dalam bidang pangan, energi, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial, yang sejalan dengan visi Asta Cita Presiden (Beritasatu.com.16/12/24).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa kenaikan PPN ini didesain dengan prinsip keadilan, gotong-royong, dan perlindungan masyarakat, terutama untuk UMKM dan sektor padat karya.

Kebijakan ini juga diharapkan menjaga stabilitas harga dan pasokan bahan pokok demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Implementasi lebih lanjut akan diatur melalui regulasi pemerintah dan kementerian terkait.

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sering kali menjadi kebijakan yang memicu polemik di tengah masyarakat. Meskipun pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendukung pembangunan, realitasnya dampak langsung dirasakan oleh rakyat, khususnya golongan menengah ke bawah. 

Pemberlakuan kenaikan PPN, meski dengan pembatasan tertentu dan disertai program bansos serta subsidi, tetap saja menjadi beban tambahan bagi masyarakat. 

Bansos dan subsidi sering kali hanya memberikan solusi jangka pendek, tanpa mengatasi akar masalah seperti daya beli masyarakat yang menurun atau ketimpangan ekonomi. 

Ketika aspirasi rakyat yang dituangkan melalui petisi atau bentuk protes lainnya diabaikan, pemerintah terkesan mengambil pendekatan otoriter-populis.

Ini berarti kebijakan dirancang seolah-olah untuk kebaikan rakyat, tetapi sebenarnya lebih mengutamakan kepentingan fiskal negara tanpa mempertimbangkan dampak luasnya terhadap masyarakat. 

Dalam Islam, penguasa diposisikan sebagai raa’in (pemelihara) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda:

"كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ."

(HR. Bukhari dan Muslim)

Ini menuntut penguasa untuk benar-benar mengutamakan kesejahteraan rakyat, tidak hanya secara kolektif tetapi juga pada tingkat individu. Islam melarang kebijakan yang memberatkan rakyat, apalagi jika dampaknya membuat mereka semakin terpuruk secara ekonomi dan sosial. 

Penguasa dalam Islam bertanggung jawab untuk memastikan kebutuhan dasar setiap individu terpenuhi, seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan.

Kebijakan fiskal dalam Islam, termasuk sistem pajak (jika diperlukan), dirancang untuk tidak membebani rakyat miskin. Sebaliknya, sumber pendapatan negara lebih difokuskan pada pengelolaan kekayaan alam, zakat, jizyah, atau kharaj. 

Kebijakan kenaikan PPN menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara visi kesejahteraan yang dicanangkan pemerintah dan realitas di lapangan. Jika pemerintah ingin dianggap sebagai pelindung rakyat, kebijakan fiskal harus dirancang untuk meringankan beban mereka, bukan sebaliknya. 

Islam menawarkan solusi alternatif dengan menjadikan kesejahteraan individu sebagai prioritas utama. Penguasa yang menjalankan amanah sesuai syariat akan memastikan bahwa kebijakan tidak hanya menguntungkan negara, tetapi juga membawa keberkahan bagi seluruh rakyat. Wallahu a'lam bishshowwab.[]

Oleh: Tsaqifa Nafi'a 
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar