Generasi Makin Sadis dalam Asuhan Sekularisme


MutiaraUmat.com Kasus pembunuhan seorang ayah dan nenek yang dilakukan oleh remaja berumur 14 tahun menambah deretan fakta kian rusaknya perilaku remaja hari ini. Peristiwa ini terjadi di rumah mereka, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan pada Sabtu, 30 -11-2024 lalu. Dalam kejadian tersebut, ibu pelaku nyaris tewas setelah ditikam dan kini sedang menjalani perawatan. 

Sebelumnya, pada Februari 2024, Kepolisian Penajem Pasir Utara telah mengamankan seorang remaja 17 tahun sebagai pelaku pembunuhan satu keluarga sebanyak lima orang. Motif tersangka menghabisi nyawa lima orang tetangganya karena persoalan dendam dan asmara. (Republika, 8-2-2024).

Pada bulan Agustus lalu juga terjadi peristiwa berdarah di Palembang. Siswi SMP berinisial AA (13) diperkosa dan dibunuh oleh empat remaja. Korban diperkosa setelah meninggal dunia. Pelaku adalah pacar korban bersama empat rekannya. Polisi juga mengungkap motif empat pelaku memperkosa korban karena sering melihat konten porno (Detiknews, 5-9-2024).

Pemuda Makin Sadis

Pemuda adalah aset bangsa, mereka diharapkan bisa menjadi agen perubahan dari kondisi buruk menjadi mulia. Faktanya, hari ini pemuda makin liar dan sadis. Kenakalan remaja telah menjadi berubah tindakan kriminal, dulu remaja hanya saling mencela secara verbal, kini menjadi pelaku pemerkosaan, perampokan, bahkan pembunuhan.  

Makin hari pemuda yang terlibat kriminalitas seperti pembunuhan makin meningkat. Kasus pembunuhan oleh remaja bukan hanya satu dua saja, tetapi sudah menjadi fenomena yang mengerikan. Ini seperti fenomena gunung es yang terungkap jauh dari realita. 

Sepanjang 2024 banyak pemuda yang jadi korban kejahatan, mulai dari pelecehan seksual sampai pembunuhan. Data pada EMP Pusiknas Bareskrim Polri menunjukkan 51 dari 431 korban merupakan pelajar dan mahasiswa. Data ini didapat untuk periode 1 Januari sampai 10 Mei 2024. Ternyata pemuda juga dilaporkan sebagai pelaku pembunuhan. Data pada EMP menunjukkan, pada 2024 sebanyak 20 pelajar dan mahasiswa sebagai pelaku pembunuhan. Jumlah tersebut mencapai 4,71% dari jumlah terlapor kasus pembunuhan periode 1 Januari sampai 10 Mei 2024. Jumlah ini terjadi peningkatan bila dibandingkan periode yang sama di tahun 2023, yaitu sebanyak 12 pelajar dan mahasiswa yang terlapor sebagai pelaku pembunuhan. (pusiknas.polri.go.id, 24-5-2024).

Secara global, angka kriminalitas di kalangan pelajar juga cukup mengkhawatirkan. Data World Health Organization (WHO) 2020 menunjukkan, setiap tahunnya terjadi 200 ribu pembunuhan di kalangan anak-anak muda usia 12—29 tahun. Sebanyak 84% kasus melibatkan laki-laki usia muda. (VOI, 19/04/2020).

Sungguh sangat miris, inilah potret buram generasi di bawah asuhan sistem pendidikan sekuler. Generasi sadis dan bengis menjadi sebuah fenomena yang dinormalisasi.

Produk Gagal Sekulerisme

Perilaku remaja yang membunuh orang tua makin bertambah. Peristiwa yang menyayat hati dan membuat naluri bergejolak ini bukan tiba-tiba, melainkan ada beberapa faktor yang memengaruhinya. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah, pertama, pola asuh keluarga. Saat ini keluarga kehilangan visi misi yang benar sesuai dengan risalah Islam. Orang tua sebagai pendidik utama anak-anak menggunakan paradigma sekuler kapitalisme dalam mendidik dan mengasuh mereka. Sehingga, orientasi utama dalam mendidik berupa materi. Bukan penanaman aqidah yang kuat pada diri anak. Secara otomatis, pola asuh ini berpengaruh pada kepribadian anak yang jauh dari Islam, generasi nir adab yang sadis. 

Kedua, lingkungan sekolah. Meningkatnya anak sebagai pelaku tindakan kriminal seperti membunuh, adalah produk dari sistem sampah sekuler liberal. Lingkungan sekolah punya peran penting dalam membentuk kesalehan komunal pada diri anak. Nyatanya, sistem sekuler telah mendegradasi nilai kesalehan tersebut dengan menormalisasi perilaku yang menyalahi aturan Allah. Di sisi lain, para guru yang merupakan pembimbing dan pendidik seharusnya memberikan teladan bagi anak-anak. Namun, banyak oknum guru malah menjadi pelaku pelecehan seksual pada anak didiknya. 

Ketiga, kemudahan akses media informasi. Kebebasan dalam mengakses konten apapun dalam dunia digital turut menyumbang rusaknya pemikiran generasi. Media yang seharusnya sebagai sarana untuk mengedukasi masyarakat dengan islam, malah dijadikan alat untuk menyebarkan pemikiran sekuler liberal, salah satunya konten porno. Bahkan film atau berita sebagai sarana hiburan malah jadi tuntunan, banyaknya tanyangan kriminal seperti pembunuhan bisa menginspirasi anak-anak tanpa pengawasan orang tua. 

Keempat, lemahnya peran Negara. Generasi yang rusak adalah hasil pendidikan sistem sekuler. Sistem yang menghasilkan kurikulum sekuler, agama dipisahkan dari kehidupan. Individu diberikan kebebasan dalam bertingkah laku termasuk melakukan tindakan yang menyalahi aturan Islam. Tentunya visi misi pendidikan untuk bisa mencetak generasi yang saleh dan salihah tidak akan pernah tercapai. 

Di sisi lain, tidak ada kontrol oleh negara terhadap konten yang bisa merusak pemikiran generasi. Negara seharusnya bertanggung jawab untuk memfilter konten-konten yang ditayangkan oleh berbagai media digital yang berpengaruh buruk bagi masyarakat. Nyatanya dengan sistem sekuler yang diadopsi, negara malah memberikan kebebasan untuk menayangkan berbagai konten sampah yang membahayakan generasi. 

Problem remaja sebagai pelaku kriminal yang kian meningkat harus menjadi perhatian khusus bagi semua orang. Masalah bukan hanya kesalahan dari satu pihak, melainkan masalah sistemik. Oleh karena itu, diperlukan solusi sistemik dan fundamental, yaitu Islam yang mampu membentuk generasi yang bertakwa dan beradab. 

Hanya Islam Kaffah Solusinya

Peradaban kapitalisme memang mampu mencetak generasi yang unggul dalam bidang saintek, tetapi gagal mencetak generasi yang beriman dan bertakwa. Lihat saja bagaimana Jepang yang ahli dalam bidang teknologi, tetapi krisis iman, sehingga banyak yang mati karena bunuh diri. Begitu pula dengan Arab Saudi dan UEA, berlomba-lomba untuk membangun infrastruktur yang megah, tetapi perilaku individunya makin liberal, makin menjauh dari aturan Islam. 

Berbeda dengan sistem pendidikan Islam, mampu mencetak generasi yang berimtak, berkepribadian Islam, serta menguasai IPTEK sebagai bekal ilmu kehidupan. Terbukti selama 13 abad peradaban Islam mampu memimpin dunia, bahkan menjadi mercusuar dalam berbagai bidang. Selama peradaban Islam memimpin hanya sedikit kriminalitas yang terjadi. Ini menunjukkan penerapan sistem pendidikan yang berbasis aqidah mampu membentuk individu yang takut pada Allah, dan tolok ukur aktivitas adalah halal haram. 

Islam juga mewajibkan negara supaya setiap individu mendapat pendidikan dengan baik karena bagian dari kebutuhan dasar. Sehingga, tidak ada warga negara yang tidak bisa sekolah karena masalah ekonomi. Negara akan menjamin pendidikan bagi warganya dengan gratis. Ini mudah diwujudkan karena negara akan mengelola sumber daya alam untuk kemaslahatan umat. 

Selain itu, Negara juga memberlakukan sistem sanksi yang tegas sebagai upaya kuratif setelah berbagai upaya preventif dilakukan. Sanksi ini akan membuat pelaku jadi jera, serta membuat individu lain tidak mencontoh tindakan kriminal tersebut. 

Kesimpulan

Membentuk generasi unggul hanya bisa terwujud dengan sistem pendidikan Islam yang terintegrasi dengan berbagai sistem ekonomi, politik dan lainnya yang berbasis aqidah Islam. Oleh karena itu, umat Islam harus berjuang bersama untuk menegakkan kembali Islam kaffah dalam kehidupan. Ini hanya bisa dilakukan dengan dakwah seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

Oleh: Mailatifatul Farida, S.Si
Pemerhati Keluarga dan Generasi

0 Komentar