Pesantren kok Lintas Agama, Ga Bahaya Tah?
MutiaraUmat.com -- Ramai diperbincangkan di media sosial terkait Pesantren lintas agama Jatidiri Bangsa. Pesantren ini terletak di Situs Persada Soekarno Ndalem Pojok, Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri.
Yang lebih mengejutkan lagi berdirinya pesantren ini diapresiasi oleh Romo Yohanes, salah satu Pimpinan Gereja Kristen Ortodok di Rusia. Bahkan bukan hanya dihadiri oleh pemuka agama Kristen saja tetapi pemuka agama lain pun turut hadir di antaranya, pemuka agama Hindu Romo Salam Raharjo, pemuka agama Katolik Romo Wisnu Sugiman, pemuka agama Budha Romo Pinandita Edi Sunyoto, Kejawen Mangku Munandar Hindu dan Ki Bukori.
Setelah ditelusuri ternyata, pesantren ini punya tujuan yang berbeda dengan pesantren pada umumnya. Hal ini disampaikan secara nyata oleh Kushartono, Ketua Harian Situs Persada Soekarno Ndalem Pojok Kediri pada situs rri.co.id (3/10/24) bahwa pendirian pesantren ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara yang diprakarsai oleh Kyai Muhammad Muchtar Mujtaba Mu’thi.
“Oleh karena bangsa Indonesia ini ada dari berbagai penganut agama maka pesantren kebangsaan ini juga lintas agama,”ujarnya.
Ada dua hal yang perlu dicermati dari fenomena ini;
Pertama, mengapa seorang pemuka agama selain Islam bisa hadir dalam peresmian sebuah pesantren bukankah pesantren identik dengan tempat umat Islam belajar Islam?
Kedua, mengapa ada embel-embel lintas agama? model pendidikan seperti apa yang bakal diterapkan untuk mendidik anak-anak yang akan menimba ilmu di pesantren tersebut?
Persoalan pertama, dari dahulu hingga sekarang yang namanya pesantren itu tempat untuk belajar Al Qur’an dan As sunnah serta ilmu-ilmu alat untuk memahami ajaran Islam, agar umat Islam menjadi umat yang memahami agamanya dengan baik dan setelah itu diajarkan serta didakwahkan.
Sebagaimana disampaikan oleh Wakil Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Anwar Iskandar dalam media NU Online (26/06/22) yang menegaskan bahwa tujuan utama adanya pesantren adalah untuk memperdalam ilmu agama (tafaqquh fiddin) dan melahirkan kader ulama.
Dari segi tujuannya saja, sudah tidak masuk akal kalau nama pesantren disandingkan dengan slogan kebangsaan.
Maka, semestinya yang hadir untuk meresmikan sebuah pesantren adalah tokoh ulama, sesuai dengan tujuan dari didirikannya pesantren.
Lalu yang kedua, mengapa ada embel-embel lintas agama? mengapa tidak memakai istilah lain? mengapa harus mengunakan nama pesantren lintas agama. Bukankah dalam Al Qur’an Allah SWT telah menyampaikan dalam surat Al kafirun Ayat 6:
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
Ù„َـكُÙ…ْ دِÙŠْÙ†ُÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙ„ِÙŠَ دِÙŠْÙ†ِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
Dari ayat ini sudah jelas bahwa dalam perkara agama, Islam tidak menerima pencampuran atau menyamadudukkan setiap agama alias sinkretisme.
Lalu apa maksud didirikannya pesantren lintas agama ini? Apakah ingin mengajarkan berbagai agama dalam kurikulum pengajarannya?
Lalu, apa tujuan didirikan pesantren jatidiri bangsa? apa yang hendak dicapai dari hasil pendidikan pesantren model ini?
Kalaulah ingin mendirikan sekolah yang mengajarkan nasionalisme kebangsaan mengapa harus memakai istilah pesantren?
Sungguh, ini merupakan usaha pengaburan agama dan mencampuradukkan antara hak dan batil.
Lalu, benarkah ajaran Islam tidak mengajarkan cinta tanah air?
Islam juga mengajarkan cinta tanah air tetapi kadar kecintaannya cukup mencintai karena tempat kelahiran saja tidak sampai kebablasan hingga menerjang aturan agama.
Rasulullah Saw juga sangat mencintai Mekkah sebagai tempat lahirnya tetapi Rasulullah Saw bersedia hijrah ketika Allah SWT memerintahkannya. Dari sini jelas bahwa cinta tanah air tidak berarti harus mengorbankan keyakinannya.
Karena pada hakikatnya semua wilayah di dunia ini adalah milik Allah Swt. Maka Allah-lah yang berhak mengatur hidup kita bukan manusia yang lahir ke dunia dalam keadaan tak memiliki apa-apa.
Terlebih lagi, Islam tak mengenal adanya sinkretisme dalam beragama karena Islam adalah agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripada Islam. Sebagaimana Hadits Riwayat Imam Bukhari:
الإسلام يعلو ولا يعلى عليه
Artinya: ”sesungguhnya Islam itu mulia/tinggi tidak ada agama yang lebih tinggi daripadanya”.
Pun ketika Islam diterapkan ajaran Islam mengajarkan agar menghormati agama di luar Islam. Dalam sejarah tidak pernah tercatat Islam memerangi agama lain tanpa alasan yang jelas. Islam memberikan ruang pada agama lain untuk beribadah sesuai keyakinannya tetapi dalam urusan publik mereka harus tunduk pada hukum Islam.
Kembali pada pesantren jatidiri bangsa, apakah ini merupakan rentetan dari agenda besar yang tengah digadang-gadang oleh orang yang tidak menyukai umat Islam kembali pada ajaran Islam yang kaffah?
Yah, wacana moderasi agama yang berujung lemahnya umat Islam dalam memahami agamanya secara benar dan mau menerima ajaran dari agama lain meskipun itu bertentangan dengan Islam.
Padahal makna toleransi itu membiarkan agama lain menjalankan ibadahnya tanpa ikut berperan dalam acara ritual mereka. Lalu mengapa dengan adanya agenda moderasi beragama ini terkesan ada pemaksaan agar umat Islam ikut serta dalam ritual keagamaan agama lain, seperti pesantren jatidiri lintas agama ini?
Dari semenjak dahulu kehidupan beragama di Indonesia sudah tentram dan damai tanpa meminta agama lain untuk turut serta dalam ritual agama. Mereka saling menghargai dan menghormati. Dan tanpa moderasi agama kehidupan beragama di Indonesia aman dan tentram.
Tetapi sekarang setelah ada agenda moderasi agama kehidupan beragama menjadi terusik dan saling curiga mencurigakan antar agama mulai terasa. Apalagi yang sering dibidik agama mayoritas yang sering dianggap intoleransi.
Inilah salah satu akibat dari hilangnya kepemimpinan umat Islam sehingga umat Islam dengan mudah dipermainkan oleh kepentingan politik pihak tertentu yang menginginkan agar umat Islam berpecah belah dan meninggalkan ajarannya.
Semoga umat Islam semakin menyadari akan bahaya moderasi beragama yang akan menyeret ke jurang kehancuran karena akan mengaburkan antara hak dan batil.[]
Oleh: Emmy Emmalya
(Analis Mutiara Umat Institute)
0 Komentar