Food Estate Bukan untuk Rakyat


MutiaraUmat.com -- Program Food Estate yang digadang-gadang menjadi proyek lumbung pangan Nasional ternyata mengalami kegagalan. Dikutip dari bbc.com (20/10/2024), setelah tiga tahun berjalan, ribuan hektare lahan proyek Food Estate di Kalimantan Tengah lagi-lagi ditemukan terbengkalai.

Lahan yang telah dibuka kini ditumbuhi semak belukar. Bahkan, ada ratusan hektare yang beralih menjadi perkebunan sawit swasta. Para petani mengaku menyerah menanam padi di lahan Food Estate setelah beberapa kali gagal panen. Temuan itu diungkap oleh Pantau Gambut yang memantau 30 area ekstensifikasi proyek lumbung pangan food estate di 19 desa di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau pada 2020-2023.

Kegagalan serupa sebenarnya sudah pernah terjadi misalnya pada proyek PLG (Pengembangan Lahan Gambut) masa pemerintahan Soeharto serta proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) pada masa SBY. Tak hanya gagal, dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya pun tak main-main. Mulai dari deforestasi, banjir, karhutla, lahan kritis, kekeringan, kerusakan ekologi hingga konflik agraria. 

Namun mengapa pemerintahan Jokowi bersikeras untuk melanjutkan program ini bahkan presiden Prabowo juga menyatakan bahwa Food Estate ini tetap dilanjutkan dan justru diperluas?


Aroma Busuk Liberalisasi Pangan dan Lahan

Meski mendapat kritik dari berbagai pihak, nyatanya proyek ambisius ini tetap melaju kencang. Diungkap di berbagai media bahwa puluhan korporasi raksasa telah resmi terlibat sebagai pelaku utama dalam pengembangan Food Estate di berbagai pulau di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Indofood, Calbe, perusahaan-perusahaan besar gula dan bioetanol, perusahaan-perusahaan sawit raksasa, hingga Agrinas yang merupakan perusahaan swasta di bawah Yayasan Kementerian Pertahanan.

Konsep dari proyek Food Estate ini adalah negara membuka kran selebar-lebarnya bagi para investor swasta, baik dalam maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya pada keseluruhan rantai produksi pangan.

Negara melegalkan alih fungsi lahan atas nama Proyek Strategis Nasional, meskipun pada praktiknya harus membabat ratusan hingga ribuan hektare hutan tropis demi mengamankan kepentingan oligarki. 

Bahkan Indonesia yang memiliki lahan gambut terbesar keempat di dunia kini separuhnya hilang akibat deforestasi atas nama program lumbung pangan. Padahal, pembukaan lahan gambut menimbulkan bahaya yang luar biasa bagi lingkungan dan masyarakat. Selain memerlukan usaha dan biaya yang sangat besar. Hal ini juga akan membuat gambut menjadi kering dan rawan terbakar, sehingga mengeluarkan emisi karbon, serta rentan mengekspos sedimen pirit yang membuat tanah tercemar. (foodestate.pantaugambut.id)

Apakah rakyat mendapatkan keuntungan? Sama sekali tidak! Sebaliknya, rakyat harus menanggung dampak kerusakan yang ditimbulkannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

 Peningkatan hasil pangan yang diwacanakan pun jauh panggang dari api. Alih-alih terwujud swasembada pangan, tahun ini Pemerintah malah meningkatkan impor beras, gula, dan kedelai lebih dari 100%. Belum lagi rakyat harus dihadapkan pada harga-harga komoditas pangan yang makin tak terjangkau. Sudahlah langka, mahal pula.


Sistem Islam Sejahterakan Rakyat

Bertolak belakang dengan sistem Kapitalisme yang hanya berorientasi pada kepentingan oligarki, Islam membangun negaranya demi kepentingan rakyat.

Rasulullah SAW bersabda “… Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR.Bukhari). Penguasa dalam sistem Islam yakni Khalifah melaksanakan syariat semata demi meraih keridhoan Allah SWT. Maka tidak ada peluang bagi oligarki untuk menyetir kebijakan negara demi kepentingan kroni-kroninya.

Penyediaan pangan tidak diserahkan secara mutlak kepada korporasi. Negaralah yang bertanggung jawab penuh dalam mengusahakan ketahanan dan kedaulatan pangan. 

Tak hanya itu, pembangunan dalam Negara Islam memperhatikan berbagai aspek termasuk kelestarian lingkungan, kestabilan kehidupan sosial, hingga keamanan bagi masyarakat bahkan dunia. Sebelum mengambil suatu kebijakan teknis, negara Islam yakni Khilafah akan melakukan pengkajian secara mendalam serta mendengarkan masukan para ahli sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dengan mengatasnamakan “proyek Nasional” misalnya. 

Islam memaknai kesejahteraan bukan diukur berdasarkan rerata, namun individu per individu. Penguasa dalam Islam wajib memastikan setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pangan hingga tidak satu pun orang yang tidak memiliki makanan apalagi sampai kelaparan. 

Sebagaimana Khalifah Umar ra yang memanggul sendiri gandum ke rumah rakyatnya. Kontras dengan sistem demokrasi kapitalisme yang memanfaatkan hitungan pendapatan per kapita untuk menipu rakyat dengan kesejahteraan semu. Caranya dengan menggenjot kekayaan segelintir elit sehingga menaikkan angka PDB kemudian secara drastis meningkatkan pendapatan per kapita, seolah-olah rakyat makin sejahtera. Inilah yang terjadi selama puluhan tahun.

Dari mana Khilafah memiliki dana untuk pembangunan termasuk pemenuhan pangan? Tentu bukan dari investasi swasta maupun asing. Negara Islam memiliki kemandirian dalam pembiayaan pembangunan karena menerapkan sistem politik dan ekonomi Islam. Adalah Baitul maal, sebuah lembaga pengelola harta umat di mana terdapat berbagai pos pemasukan dan pengeluaran. Pos pemasukan terdiri dari fai’ dan kharaj, kepemilikan umum, dan zakat. Dalam Islam dikenal 3 (tiga) jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara.

Hutan dan lahan yang luas merupakan harta kepemilikan umum yang tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi asing. Individu rakyat dapat mengelola lahan sesuai kemampuannya dan negara akan memberikan fasilitas serta berbagai modal agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangan secara layak. 

Industri pangan dengan kapasitas besar akan dikelola oleh negara dan didistribusikan kepada rakyat dengan harga murah karena tidak bertujuan komersil. Liberalisasi pangan dan lahan hukumnya haram secara mutlak.
Demikianlah aturan-aturan Islam yang diterapkan oleh Khilafah telah dan akan mampu mewujudkan kesejahteraan tanpa pandang bulu.

Islam dapat menjadikan masyarakatnya sejahtera dan produktif dalam waktu yang bersamaan. Sebuah negara yang mampu merealisasikan kedaulatan pangan tanpa merusak lingkungan, juga tanpa adanya konflik lahan. Semua rakyat baik Muslim maupun non-Muslim dapat merasakan kesejahteraan yang sama. Allahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Yessy Inqilaby
Aktivis Muslimah

0 Komentar