Sertifikasi Halal, Menenangkan atau Mengkhawatirkan?

MutiaraUmat.com -- Sebagai seorang Muslim, sudah sepatutnya  menjadikan halal haram sebagai acuan dasar dalam menghukumi suatu benda, terutama pada makanan dan minuman yang dikonsumsi dalam keseharian. Dan terlebih sebagai penduduk Indonesia yang bermayoritas beragama Islam, rakyat layak dan pantas untuk mendapat jaminan kehalalan suatu benda yang dikonsumsi. 

Lewat adanya sertifikasi halal yang diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tentu banyak membantu masyarakat dalam menentukan apakah suatu produk layak dikonsumsi atau tidak bagi seorang Muslim, sehingga dengan begitu masyarakat tenang dan tidak was-was dengan apa yang mereka konsumsi.

 Sebagaimana yang dikatakan oleh K.H. Miftahul Huda, selaku Sekretaris Komisi Fatwa MUI, bahwa dalam sertifikasi halal MUI berperan sebagi penjaga ummat dari sesuatu yang haram dan memiliki fungsi menjalankan tugas keamanan (himayat al-ummah) terkait kepastian halal-haram. (Kumparan.com, 04/10/2024) 

Namun, kenyataan hari ini justru seakan menampik adanya peran tersebut. Pasalnya, baru baru ini MUI mengungkapkan adanya temuan mengejutkan terkait produk pangan yang memiliki nama kontroversial seperti tuyul, wine, beer, dan tuak yang mendapatkan sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementrian Agama (Kemenag). (Wartabanjar.com, 01/10/2024).

Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mamat Salamet Burhanudin, menegaskan dalam pernyataan tertulisnya bahwa persoalan tersebut hanya berkaitan dengan nama produk, bukan soal kehalalan zat produknya, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir dan ragu karena produk yang bersertifikat halal telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku. 

Penamaan produk halal pun sudah diatur dalam regulasi SNI 99004: 2021  dan Fatwa MUI  Nomor 44 tahun 2020 yang menegaskan bahwa produk yang memiliki nama yang bertentangan dengan syariat Islam atau bertentangan dengan kepatuhan dan etika yang berkembang dan berlaku di kalangan masyarakat, tidak dapat diajukan proses sertifikasi halalnya oleh pelaku usaha.
Adanya pengahalalan produk dengan nama kontroversial belakangan ini, Mamat berpendapat bahwa hal itu dapat terjadi karena adanya perbedaan ulama Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal mengenai penamaan suatu produk. (Kumparan.com, 03/10/2024).

Menyoal Sertifikasi Halal ala Kapitalisme
Dari penamaan produk yang menunjukkan sebutan sesuatu yang tidak halal, berpotensi besar untuk menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan. Karena persoalnnya adalah halal-haramnya suatu benda, dimana dalam Islam sendiri merupakan persoalan prinsip mendasar. Sertifikasi halal yang diberikan BPJPH pun rupanya tak dapat memberi ketenangan pada masyarakat justru membuat bingung dan ragu dengan apa yang mereka konsumsi apakah terdapat unsur keharaman atau tidak jika menilik dari nama produk yang diberikan.

 Adapun penetapan halal, seharusnya dilakukan pihak yang menguasai dan juga memahami betul syarat Islam, dan berpengalaman di bidang tersebut. Bukannya melalui jalur self declare, yang mana hanya berdasarkan dengan pernyataan pelaku usaha. Karena saat ini, pelaku usaha belum tentu menguasai soal halal-haram suatu benda. 

Adanya proses sertifikasi halal, pun sangat berpeluang besar untuk menjadi ladang bisnis bagi kalangan yang bersangkutan. Mengingat biaya yang dibutuhkan dalam penetapan halal produk membutuhkan biaya yang besar. 
Pun adanya proses self declare, yang seharusnya melalui pendamping yang telah diakui oleh Komite Fatwa pun dapat membuka peluang adanya pendamping yang hanya mencari keuntungan, sehingga memungkinkan adanya pemalsuan bahan atau proses pembuatan terbuka jika tidak ada kontrol ketat. Tentu, pendamping semacam ini akan bertindak secara tidak cuma-cuma.

Terlebih adanya batas tenggat jatuh tempo sertifikasi, juga akan sangat menguntungkan, karena para pelaku usaha juga pasti akan bersegera dalam penetapan halal produk yang dimilikinya dengan biaya yang tidak murah. 
Inilah gambaran sertifikasi halal ala Kapitalisme yang jauh dari kata menjamin kehalalan suatu produk. Kehalalan hanya ditujukan pada keuntungan semata, bukan sebagai bagian dari pelaksanaan syariat, sehingga hasilnya hanya berujung pada rasa kekhawatiran  mengenai hukum suatu benda.

Tindakan dalam Islam 

Dalam Islam, sejatinya halal haram adalah perkara syariat yang mendasar. Negara yang berperan sebagai penanggung jawab dan pelindung agama rakyat, wajib untuk menjamin kehalalan benda yang dikonsumsi manusia.

Melalui Islam, negara akan mampu menjadikan tiap individu rakyatnya sebagai hamba yang bertaqwa. Dengan begitu, produsen, penjual maupun pembeli Muslim akan memiliki kesadaran pentingnya produk halal, karena Allah dalam firman-Nya surah Al-Baqarah ayat 168, telah memerintahkan kepada manusia agar memakan makanan yang halal dan baik, sehingga barang yang beredar di masyarakat otomatis terjamin kehalalannya. 

Negara akan menugaskan para qadhi hisbah yang berkompeten mengatasi masalah produk halal, thayyib , najis dsb. untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Para qadhi memiliki tugas untuk mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk tanpa adanya kamuflase dan kecurangan. 

Adapun mengenai penamaan produk, negara akan memastikan produk yang beredar tidak bertentangan dengan syariat Islam sehingga masyarakat tidak ragu ketika mengonsumsi produk. Negara juga akan memberikan layanan sertifikasi halal pada para pelaku usaha dengan biaya yang murah bahkan gratis. Dengan demikian, negara mampu untuk menjamin kehalalan produk yang beredar. Negara akan fokus untuk melayani umat dan tidak akan mempergunakan kebutuhan dasar umat, terlebih untuk pelaksanaan syariat sebagai ladang bisnis. Wallahu a’lam bish shawab.


Oleh: Darisa Mahdiyah
Aktivis Muslimah

0 Komentar