Nepotisme Merajalela

MutiaraUmat.com -- Meski pemilihan presiden dan wakil presiden telah berakhir hawa panas politik masih terus membara hingga saat ini. Berbagai desas-desus kecurangan menyebar di semua kalangan masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang kecewa dan bersedih hati. Bahkan mereka menyebut terpilihnya pasangan Prabowo-Gibran sebagai politik dinasti. Nampaknya polemik seperti ini tidak hanya terjadi dalam pemilihan presiden, namun dalam pemilihan anggota DPR politik dinasti juga dapat terjadi.

Nepotisme

Fenomena politik dinasti marak terjadi di dalam tubuh pemerintahan. Mulai dari pangkat terendah hingga pangkat tertinggi. Tidak terkecuali anggota DPR. Politik dinasti diduga masih kental melekat pada DPR periode 2024-2029. Ditemukan ada sekitar 220 anggota yang terindikasi memiliki ikatan kekerabatan dengan pejabat publik, elite politik, hingga sesama anggota DPR yang lain. 

Hubungan kekeluargaan yang kental di tubuh DPR peiode baru bisa menjadi sebuah masalah dan berisiko besar. Hal pertama yang akan dipertaruhkan adalah akuntabilitas kinerja parelemen. Pasalnya, keterpilihan mereka lebih banyak terjadi bukan karena faktor kapasitas. Tapi, karena faktor warisan dan titah politik. 

Peneliti perkumpulan untuk pemilu dan demokrasi (perludem), Annisa Alfath, menegaskan bahwa nepotisme politik di tubuh DPR dapat mempengaruhi kineja kerja dan intergitas lembaga legislatif tersebut. Hal ini dikarenakan mereka cenderung untuk mengadopsi kebijakan yang sejalan dengan keluarga atau kelompok tertentu. Kekerabatan politik juga bisa memperlemah akuntabilitas anggota. Sebab, ada pihak tertentu yang akan merasa memiliki perlindungan. Hal ini berdampak pada lemahnya kontrol internal, pengawasan publik, serta menurunkan kualitas fungsi legislatif. Praktik politik kekerabatan dalam sistem politik di Indonesia cenderung dilakukan untuk mengamankan kepentingan kolektif. (TirtoId, 02/10/24)

Wakil Elite Politik

Maraknya fenomena politik kekerabatan dalam DPR menjadikan tugas anggota DPR yang berperan sebagai wakil rakyat berbelok menjafdi wakil para elite politik. Sebab, dengan adanya politik seperti ini dapat menjadikan kursi pemerintahan hanya diduduki oleh kelompok tertentu saja. Otomatis kebijakan yang akan diambil adalah kebijakan untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu saja. Jika hal ini berlangsung lama, aspirasi rakyat (terutama rakyat kecil) tidak akan tersampaikan. Dan DPR tidak akan lagi berpihak pada rakyat. Mereka hanya akan mementingakan kepentingan-kepentingan pribadi. 

Padahal, tugas utama DPR adalah untuk mewakili setiap pendapat dan rasa rakyat. Dan peraturan yang dibuat haruslah berpihak pada rakyat. Bukan malah berpihak kepada sebagian kelompok saja atau bahkan berpihak pada oligarki. Jika hal tersebut terjadi maka, wakil rakyat hanya akan menjadi tukang stempel kebijakan para elite polotik. Dampaknya, rakyat akan terabaikan dan tidak mampu melawan.

Polemik semacam ini menunjukkan bahwa parpol telah gagal dama memfilter dan menyeleksi caleg. Penulis setuju sekali dengan pendapar Annisa Alfath yang mengatakan bahwa nepotisme dapat mempengaruhi kinerja parlemen. Seharusnya, caleg yang diajukan memiliki kapasitas dan kinerja yang baik, bukan karena faktor kekerabatan. Bisa saja caleg yang terpilih tidak memiliki pengetahuan tentang skema kerja DPR. Akibatnya, mereka tidak bisa memberikan partisipasi dalam menyampaikan aspirasi rakyat.
 
Pelayan Masyarakat

Mekanisme dalam sistem demokrasi tentu berbeda dengan mekanisme dalam sistem Islam. Sistem Islam juga memiliki lembaga yang bertuga untuk menyampaikan aspirasi umat yang diberi nama dengan majlis ummah. DPR dan majlis ummah memiliki beberapa kesamaan. Keduanya sama-sama dipilih oleh rakyat untuk mewakili dalam menyampaikan aspirasi dan pendapat-pendapat rakyat. Namun, majlis ummah tidak memiliki kewenangan dalam membuat aturan.

Sebab, kewenangan membuat aturan hanya berada di tangan sang pencipta, yakni Allah SWT. Kedaulatan di tangan Allah, namun kekuasaan di tangan rakyat. Artinya hak membuat hukum berada di tangan pencipta sedangakan rakyat diberi hak untuk memilih pemimpin yang menjalankan syari’at Islam.

Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Nidzom Al-Islam, bahwa majlis ummah memiliki 5 wewenang, yakni :
Menyampaikan pendapat kepada khalifah (pemimpin negara) dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan pemeliharaan urusan politik.  
Mengoreksi hukum dan perundang-undangan yang akan dilegislasikan.

Berhak mengkritik khalifah jika khalifah melakukan kesalahan selama menjabat.
Berhak menyampaikan pendapat kepada wali maupun gubernur. Berhak membatasi calon khalifah. Islam melarang keras adanya politik dinasti karena semata-mata hubungan kekerabatan tanpa ada kelayakan dan kualitas yang mumpuni.

Namun, jika seseorang menjadi pemimpin kareana kopetensi yang sesuai kriteria syariat islam dan ternyata pemimpin tersebut memiliki ikatan kekeluargaan maka, hal tersebut diperbolehkan. Hal tersebut tidak dikategorikan sebagai politik dinasti. Sebab, mereka muncul sebagai pemimpin karena faktor kemampuan dan kepribadian yang sesuai syariat Islam. Bukan karena hubungan kekeluargaan. Dan hal inilah yang terjadi pada masa kekhilafahan dahulu. Wallahu ‘alam bi ash-showab.

Oleh: Hasna Syarofah
Gen Z Muslim Writer

0 Komentar