Gen Z Putus Asa Cari Kerja, Negara Diam Saja?


MutiaraUmat.com -- Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ada 9,9 juta gen Z yang tidak bekerja dan tidak ada kegiatan (not in employment, education, and training/NEET). Tidak hanya menganggur, mereka juga merasa putus asa. BPS menggolongkan gen Z dengan rentang usia 15-29 tahun ini sebagai kelompok hopeless of job (cnbcindonesia.com, 28/07/2024). 

Kelompok ini menyebar di daerah perkotaan dan perdesaan, diketahui 5,2 juta orang di kota dan 4,6 juta orang di desa. Dari sini dapat kita lihat potret negeri yang kian mengkhawatirkan. Gen Z yang digadang-gadang dapat menjadikan Indonesia Emas 2045, nyatanya malah menjadi ancaman yang serius dalam bonus demografi ini.

Seorang politikus Nasdem mengaku miris melihat gen Z dengan usia produktif yang dikenal sebagai digital native, mereka juga lebih multitasking, mandiri, berpikir kritis, skeptis terhadap informasi, dan inklusif, tetapi malah tidak bekerja bahkan hopeless (wartaekonomi.com, 10/08/2024)). 

Ia mengutip dari data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2024 ini ada 3,6 juta gen Z. Artinya, gen Z berhasil menyumbang 50,29% dari total pengangguran terbuka di Indonesia. Sangat disayangkan! Gen Z hidup dengan rasa takut, cemas, pesimis, bahkan hopeless akan masa depannya. Gen Z yang termasuk dalam golongan hopeless of job ini biasanya sangat rentan depresi.

Berdasarkan laporan Survei Kesehatan Indonesia (SKI)dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) prevalensi depresi Indonesia sebesar 1,4% pada tahun 2023 (cnbcindonesia.com 28/07/2024).

Kenapa gen Z sampai putus asa mencari kerja?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan gen Z sulit mencari kerja, baik itu faktor internal maupun faktor eksternal. Dari faktor internal, Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional PPN/Bappenas Maliki menyatakan penyebabnya adalah salah memilih sekolah dan jurusan sehingga kompetensi yang dikuasai tidak sesuai dengan kebutuhan industri atau perusahaan (cnbcindonesia.com, 21/05/2024).

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh intelligent.com terhadap 800 pengusaha,diketahui hampir 60% dari mereka setuju bahwa gen Z lulusan perguruan tinggi merasa tidak siap masuk dunia kerja dan 40% dari pengusaha ini akhirnya lebih tertarik untuk merekrut pekerja usia diatas 27 tahun. 

Faktor selanjutnya adalah faktor eksternal, saat ini terlihat jelas adanya ketidakseimbangan antara jumlah lapanagan pekerjaan dengan jumlah lulusan yang siap bekerja. Berdasarkan laporan yang dikutip CNBC Indonesia pada Kamis (01/08/2024) pada tahun 2019 ada 246.689 gen Z yang termasuk kategori hopeless of job dan puncaknya adalah pada tahun 2022 yakni mencapai 1.158.228 orang. Meski mengalami penurunan pada tahun 2023 yaitu menjadi 575.081 dan tahun 2024 ini menjadi 369.522 tetap saja ini menjadi masalah yang serius dalam ketenagakerjaan gen Z saat ini (infobangkaid.com, 01/08/2024). Sedangkan Kemenaker mencatat hanya ada 298.185 lowongan pekerjaan yang tersedia. 


Akibat Kapitalisme

Kedua faktor di atas tidak lain dikarenakan tata kelola ekomoni negeri yang bercorak kapitalistik. 

Pertama, sistem ekonomi kapitalisme hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi. Pengangguran hanya dihubungkan dengan investasi, nyatanya investasi di Indonesia naik namun pengangguran pun kian naik. Artinya ini bukan solusi! 

Kedua, tata kelola negara yang kapitalistik menyerahkan sumber daya alam dan energi (SDAE) kepada asing dan swasta. Misalnya dalam pengelolaan minyak dan gas (migas) saat ini 85,4% dari 137 wilayah pertambangan nasional dikuasi oleh asing sehingga rakyat harus membayar mahal untuk bisa menggunakan minyak dan gas. Pemerintah hanya memberikan subsidi BBM berupa gas elpiji 3kg yang jumlahnya kian sedikit, sehingga rakyat sulit mendapatkannya.

Sangat disayangkan SDAE Indonesia yang sangat melimpah tidak bisa dinikmati oleh seluruh rakyat. Rakyat hanya merasakan debu, kerusakan yang dihasilkan, bahkan rakyat selalu dipungut pajak untuk pengelolaan pemerintahan. Padahal jika SDAE bisa dikelola secara mandiri oleh negara, hasilnya dapat dinikmati bersama dengan rakyat secara merata, negara tidak akan kekurangan dana untuk pengelolaan pemerintahan, dan tentu akan membuka lapangan pekerjaan yang luas untuk rakyat Indonesia sendiri. 

Ketiga, sistem kapitalistik hanya berfokus pada kebutuhan pasar. Gen Z sebagai generasi produktif hanya dididik untuk bermental sebagai pekerja bukan sebagai pengusaha yang kreatif dan inovatif. Kurikulum yang diterapkan sekuler, memisahkan agama dari kehidupan sehingga gen Z rawan memiliki psikis yang rapuh dan mudah putus asa. 


Kegagalan Negara 

Telah begitu jelas bahwa sistem kapitalisme menjadikan negara abai terhadap rakyatnya. Fokus mereka hanya mengumpulkan pundi-pundi rupiah di kantong pribadi para penguasa, pengusaha, dan oligarki. Mana sempat memikirkan nasib rakyat? Pemerintah dengan sukarela bahkan mempermudah bagi para investor asing masuk tanpa memperhatikan jika regulasinya merugikan bahkan membahayakan jiwa rakyatnya. 

Misalnya saja saat Omnibus Law Ciptakerja tetap disahkan saat rakyat melakukan demonstrasi penolakan. Jelas terlihat bahwa tujuan korporasi bukan untuk menyerap tenaga kerja tetapi bagaimana mendapatkan untung sebanyak-banyaknya. Di sisi lain, gelombang PHK kian naik dengan alasan yang kadang tidak masuk akal. Para karyawan hanya berstatus karyawan kontrak yang sewaktu-waktu bisa diberhentikan tanpa pesangon pula. 

Oleh karena itu, lapangan pekerjaan yang kian sulit. Bahkan gen Z dengan usia produktif kesulitan mencari pekerjaan sampai putus asa adalah bukti gagalnya negara dalam mengurusi rakyatnya. 

Berbeda cerita dengan orang-orang yang memiliki kuasa, mereka tinggal pilih ingin posisi yang mana pasti langsung bisa meski harus menabrak hukum yang mereka buat sendiri. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana rakyat mau sejahtera? Mustahil, jika negara hanya diam saja. 

Mereka telah gagal menjalankan peran dan tanggung jawabnya dalam mengatur dan mengurusi rakyatnya. 


Mekanisme Islam 

Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna tentu memiliki standar yang baku dalam mengatasi masalah pengangguran ini.

Pertama, Islam memberikan tanggung jawab penuh kepada negara sebagai bagian sentral dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan memastikan para kepala keluarga memiliki pekerjaan yang layak. Selaras dengan hadist Rasulullah saw., “Seorang imam (kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari, 844).

Kedua, Islam memiliki pengaturan tentang kepemilikan yang khas dan baku. SDAE haram dikelola dan dikuasai oleh swasta dan asing, karena termasuk kepemilikan umum yang bisa dinikmati bersama seluruh rakyat. Regulasi yang seperti ini akan menjadikan negara menjadi lebih mandiri, memiliki pendapatan yang melimpah, mampu menyediakan lapangan pekerjaan untuk rakyat, dan tentu hasil dari SDAE dapat dinikmati seluruh rakyat dengan mudah tanpa terkecuali. 

Ketiga, Islam sangat memperhatikan pendidikan. Maka negara memiliki tanggung jawab dalam menyediakan fasilitas pendidikan yang layak dan berkualitas untuk rakyat secara gratis sehingga dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. Melalui pendidikan inilah yang akan menjadi bekal bagi gen Z untuk mendapatkan ilmu, mengasah keterampilan, dan meningkatkan daya pikir mereka dalam melakukan kreasi dan inovasi untuk kemajuan negeri. 

Dengan demikian, gen Z yang telah menyelesaikan masa pendidikan akan lebih mandiri dan terampil. Mereka tidak hanya dididik untuk bermental pekerja, tetapi lebih daripada itu. Dengan pendidikan yang berkualitas dan penerapan kurikulum islami, gen Z juga akan memiliki keyakinan atau mental yang kuat, aqidah islam yang kokoh, dan memiliki kepribadian islam sehingga tidak mudah putus asa. 

Fokus mereka bukan hanya materi seperti yang diajarkan dalam sistem kapitalisme ini, mereka akan fokus bagaimana bisa memberikan kontribusi dalam memajukan peradaban. 

Keempat, Islam menjamin kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Negara sadar betul bahwa rakyat akan sejahtera jika mereka memiliki penghasilan dan mampu menjalani hidupnya secara mandiri.

Negara akan memastikan seluruh kepala keluarga atau laki-laki baligh memiliki pekerjaan yang layak. Sedangkan untuk kepala keluarga atau laki-laki yang cacat atau tidak mampu bekerja, negara memberikan perhatian khusus dengan memberikan santunan kepada keluarga tersebut. 

Nampak begitu jelas perbedaan antara sistem kapitalisme dengan sistem Islam, dan hanya Islamlah solusi yang layak diambil dalam mengatasi berbagai persoalan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Hanya dengan Islam pula masalah pengangguran dapat terselesaikan dan rakyat mendapatkan kesejahteraan dengan pengawasan dan kepedulian penuh dari negara. []


Oleh: Eri Irawati Chairunisa
Aktivis Muslimah

0 Komentar