Pajak Naik kok Bangga?

MutiaraUmat.com--Baru-baru ini Menteri Keuangan Sri Mulyani memamerkan kinerja Direktorat Jendra Pajak (DJP) di bawah naungan Kementerian Keuangan yang telah berhasil semakin menaikkan pendapat negara sektor pajak secara signifikan sejak tahun 1989, dari "hanya" Rp. 13 triliun hingga tahun ini tembus Rp1.988,9 triliun. 

Sri Mulyani menyatakan kebanggaannya terhadap DJP atas kinerjanya karena dianggap dengan naiknya pendapat pajak maka banyak cita-cita negara yang bisa terlaksana. Negara bisa adil, maju, dan sejahtera hanya bisa diraih dengan pajak yang mengalir, katanya. Namun benarkah?

Pajak Naik, Cita-Cita Teraih?
Sungguh tidak ada korelasi antara kenaikan pajak dengan tercapainya cita-cita sebuah negara yang adil, makmur, dan sejahtera terlebih jika dalam kerangka negara demokrasi yang asasnya adalah sekulerisme-kapitalisme.

Peningkatan pungutan atas rakyat juga merupakan hal lumrah dalam sistem kapitalis, karena pajak adalah sumber terbesar pendapatan negara untuk membiayai Pembangunan sebuah negara berasaskan kapitalisme. 

Walau pun suatu negeri memiliki kekayaan alam melimpah ruah, sebagaimana Indonesia yang memiliki ratusan tambang mulai dari tambang emas, batubara, minya bumi dan gas alam, nikel, tanah subur efek debu vulkanik gunung berapi, batuan andesit, jutaan fauna di daratan dan di lautan, sesungguhnya menyimpan potensi dahsyat jika negara ini benar-benar serius dalam mengelolanya.

Belum lagi terkait potensi sumber daya manusia yang pada hakikatnya siap digerakkan demi kemajuan bangsa. Asalkan memang pemerintah serius dalam mengelola dan membina SDM negeri ini, sungguh penduduk sejumlah lebih dari 270 juta penduduk ini akan siap menerjang berbagai ombak kehidupan sebagaimana para leluhur kita dahulu.

Sayangnya, kekayaan alam sedemikian besar dan kekayaan sumber daya manusia ini tidak dikelola dengan sebuah sistem yang unggul. Hal inilah yang menjadikan Indonesia sebagai negeri yang kaya namun sekaligus miskin rakyatnya. Ya salah kelola karena salah sistem yang diterapkan.

Maka, dengan sistem yang mampu menjadikan segala SDA ini sebagai sumber pemasukan negaralah, pajak tidak lagi menjadi "primadona" sumber keuangan.

Maka, besarnya pungutan pajak atas rakyat sejatinya adalah bentuk kedzaliman dan membuktikan bahwa negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat dan penjamin kesejahteraan rakyat. 

Negara hanya sebagai fasilitator dan regulator dalam menentukan tata kelola urusan negara

Berbeda halnya dengan sistem Islam, dimana Syariat Islam telah mengatur ada banyak sumber penerimaan negara yang jumlah besar.  

Syariat telah menggariskan adanya sistem kepemilikan yang ditetapkan oleh negara dan pengelolaannya sesuai dengan sistem ekonomi Islam. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam hadist riwayat Ibnu Majah meriwayatkan dari Abdulah bin Said, dari Abdullah bin Khirasy bin Khawsyab asy-Syaibani, dari al-‘Awam bin Khawsyab, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمنَهُ حَرَامٌ

“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api; dan harganya adalah haram.”

Hadis di atas menyatakan bahwa kaum muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput, dan api. Ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu dan pengelolaannya wajib oleh negara. Sumber-sumber kekayaan yang seharusnya milik ummat sayangnya hari ini telah diprivatisasi oleh korporasi baik lokal, asing, maupun aseng.

Tak heran, jika negeri ini miskin di atas tanahnya yang kaya, sebab kepemilikan yang seharusnya menjadi sebab makmur dan sejahteranya rakyat, kini justru dinikmati segelintir orang saja.

Sungguh, negara yang menerapkan sistem Islam dengan fungsi rain sajalah yang akan menjamin kesejahteraan rakyat dengan pengelolaaan sumber pemasukan sesuai dengan tuntunan Islam. Bukan dengan pajak.

Wallahu'alam

Oleh: Prayudisti S.P
Aktivis Muslimah 

0 Komentar