Merdeka Belajar Wujudkan Generasi Berkualitas, Mampukah?
MutiaraUmat.com -- Kurikulum merdeka pada 26 Maret 2024 resmi ditetapkan sebagai kurikulum nasional mulai tahun ajaran baru 2024/2025 yang mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (permendikbudristek) NO.12/2024 tentang Kurikulum pada PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah. Meskipun setiap sekolah diberikan kebebasan dalam mengimplementasikan sesuai dengan kesiapan masing-masing, pemerintah telah menyiapkan angket guna membantu satuan pendidikan menilai tahap kesiapan dirinya untuk menggunakan kurikulum merdeka.
Tujuan kurikulum merdeka yang diluncurkan pertama kali pada 2022 untuk menyederhanakan kurikulum sebelumnya yang terkesan rumit dan tidak bisa memenuhi capaian kompetensi peserta didik. Dan juga diharapkan sebagai solusi atas ketertinggalan pembelajaran pada masa pandemi. Pemerintah mengklaim keunggulan kurikulum merdeka karena lebih sederhana, mendalam, lebih merdeka serta lebih relevan dan interaktif.
Namun, apakah kurikulum merdeka jawaban atas solusi suramnya pendidikan di Indonesia? Lalu, merdeka belajar wujudkan generasi berkualitas, mampukah? Mengingat banyak pengajar dan pelajar saling bermaksiat dan menodai pendidikan itu sendiri. Sampai saat ini masih menjadi PR besar bagaimana penyelesaian perundungan, kekerasan seksual, pergaulan bebas, dan konsumsi obat-obatan terlarang dalam lingkup satuan pendidikan.
Menurut pemerhati pendidikan, Noor Afeefa, kurikulum merdeka dinilai sebagai bentuk penguatan kebijakan sekuler kapitalistik. Meski kurikulum merdeka diklaim lebih holistik karena memuat penilaian karakter melalui P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) tetapi targetnya tetap sekuler, bukan berbasis akidah shahih (MNews, Sabtu 6/04/2024).
Ternyata, napas kurikulum merdeka menginduk pada standar mutu kapitalistik, yakni penilaian PISA (Programme for international Student Assessment) yang diimplementasikan melalui asesmen nasional. PISA adalah standar kualifikasi pendidikan yang dirancang oleh negara-negara kapitalis OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dalam rangka menyiapkan SDM yang sesuai bagi kebutuhan pasar industri kapitalis. Oleh karenanya, standar kualitas litasi, numerasi, dan sains menjadi acuan penilaian.
Sangat jelas sekali kurikulum merdeka tidak menitikberatkan pada pembangunan kepribadian Islam. Orientasinya sebatas tercapainya keterserapan lulusan di dunia kerja. Meskipun dalam kurikulum merdeka terdapat program P5 yang terlihat baik dan tidak bermasalah, sejatinya menimbulkan banyak penerjemahan makna yang mengarah pada sekuler kapitalis sebagai dasar landasan kurikulum. Sebagai contoh, asas beriman dan bertawa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tentu maknanya bukanlah ketakwaan totalitas kepada Allah dan keterikatan kepada hukum syariat sepenuhnya, tapi disikapi secara sekuler kapitalistik. Begitu pula dengan standar literasi dan numerasi ala kapitalis, sejatinya bukan sekadar capaian angka-angka, namun mengandung muatan ideologis yang didedikasikan kepada kapitalis.
Oleh karenanya, pemerintah gagal dalam memandang akar permasalahan pendidikan di negeri ini. Mengganti kurikulum dengan landasan yang sama, dengan teknis dan pengemasan yang berbeda hanya menghabiskan anggaran negara dan menambah beban guru sebagai pelaksana dan murid yang mau tidak mau harus menyesuaikan. Sampai kapan pemerintah berlindung pada ganti kurikulum agar seolah-olah terlihat kerja nyata dan peduli dengan pendidikan dan generasi? Padahal jelas apa pun dengan muara sekuler kapitalis adalah kerusakan yang sistemik.
Pendidikan dalam Islam
Pendidikan dalam Islam suatu perkara wajib yang harus dikerjakan sampai mati, kedudukan orang yang berilmu juga mulia dan memiliki derajat yang tinggi. Firman Allah SWT,“…Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QSl-M al-Mujadilah [58]: 11).
Nabi SAW juga bersabda,”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224).
Dalam prosesnya juga harus diperhatikan betul agar tidak keluar dari apa yang Allah dan Rasul-Nya ajarkan, sebagaimana dalam Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya ia niatkan untuk mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla, namun ia malah niatkan untuk menggapai dunia, maka di hari kiamat ia tidak akan mencium bau surga” (HR Abu Daud no. 3664 dan Ibnu Majah no. 252, dari Abu Hurairah).
Strategi dan Tujuan Pendidikan dalam Islam
Strategi dan sistem pendidikan dalam negara Islam sebagaimana terangkum dalam Muqaddimah Dustur, yakni: Pertama, pada pasal 165 menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam. Seluruh materi pelajaran dan metode pengajaran dalam pendidikan disusun agar tidak menyimpang dari landasan tersebut.
Kedua, pada pasal 166, strategi pendidikan membentuk pola pikir islami (akliah islamiah) dan jiwa yang Islami (nafsiyah islamiah). Seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan disusun atas dasar strategi tersebut.
Ketiga, dalam pasal 167, tujuan pendidikan membentuk kepribadian Islami (Syakhshiyah Islamiah) dan membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan dirancang untuk merealisasikan tujuan tersebut. Setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut dilarang.
Keempat, pada pasal 169, dalam pendidikan harus dibedakan antara ilmu terapan dan yang terkait dengannya, seperti matematika, dengan pengetahuan tsaqafah. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai dengan kebutuhan dan tidak terikat dengan tingkatan mana pun dalam jenjang pendidikan. Pengetahuan tsaqafah yang diajarkan di seluruh jenjang pendidikan sebelum tingkat perguruan tinggi disesuaikan dengan kebijakan tertentu yang tidak bertentangan dengan pemikiran dan hukum-hukum Islam. Pada tingkat perguruan tinggi, pengetahuan tsaqafah diajarkan secara utuh seperti halnya ilmu pengetahuan lainnya, dengan syarat tidak mengarah kepada penyimpangan dari strategi dan tujuan pendidikan.
Kelima, pada pasal 170, tsaqafah Islam harus diajarkan di seluruh jenjang pendidikan. Pada tingkat perguruan tinggi diadakan berbagai jurusan ilmu-ilmu keislaman, selain jurusan kedokteran, teknik, ilmu pengetahuan alam, dan sebagainya.
Keenam pada pasal 171, kesenian dan keterampilan dapat digolongkan sebagai ilmu pengetahuan seperti perdagangan, pelayaran, dan pertanian yang boleh dipelajari tanpa terikat dengan syarat-syarat tertentu. Kesenian dan keterampilan juga dapat digolongkan sebagai tsaqafah jika dipengaruhi oleh pandangan hidup tertentu, seperti seni lukis dan seni pahat yang tidak boleh dipelajari apabila bertentangan dengan pandangan Islam.
Ketujuh, pada pasal 172, kurikulum pendidikan hendaknya seragam. Tidak boleh menggunakan kurikulum pendidikan selain kurikulum pendidikan yang telah ditetapkan negara. Tidak ada larangan untuk mendirikan sekolah-sekolah swasta lokal selama mengikuti kurikulum pendidikan negara dan berdasarkan pada rencana pendidikan serta sejalan dengan strategi dan tujuan pendidikan. Dalam proses belajar mengajar hendaknya tidak dicampur antara laki-laki dan perempuan, baik di kalangan pelajar maupun di kalangan pengajar, dan hendaknya tidak dibedakan berdasarkan kelompok, agama, mazhab, ras, dan warna kulit.
Kedelapan, pada pasal 173, negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan; jenjang pendidikan dasar (ibtidaiah) dan jenjang pendidikan menengah (tsanawiah). Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma.
Kesembilan, pada pasal 174, negara menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, selain gedung-gedung sekolah, kampus-kampus, untuk memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti fikih, usul fikih, hadis, dan tafsir, termasuk di bidang pemikiran, kedokteran, teknik, kimia, serta penemuan, inovasi dan lain-lain sehingga di tengah-tengah umat lahir sekelompok mujtahid, penemu, dan inovator.
Tujuan Pokok Pendidikan dalam Islam
Dalam menyusun kurikulum dan materi pelajaran terdapat dua tujuan pokok pendidikan yang harus diperhatikan: Pertama, membangun kepribadian islami, pola pikir (akliah) dan jiwa (nafsiyah) bagi umat, yaitu dengan cara menanamkan tsaqafah Islam berupa akidah, pemikiran, dan perilaku islami ke dalam akal dan jiwa anak didik. Oleh karenanya, harus disusun dan dilaksanakan kurikulum Negara Khilafah untuk merealisasikan tujuan tersebut.
Kedua, mempersiapkan anak-anak kaum Muslim agar di antara mereka menjadi ulama-ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu keislaman (ijtihad, fikih, peradilan, dan lain-lain) maupun ilmu-ilmu terapan (teknik, kimia, fisika, kedokteran, dan lain-lain). Para ulama yang mumpuni akan membawa Negara Islam dan umat Islam—melalui pundak mereka—untuk menempati posisi puncak di antara bangsa-bangsa dan negara-negara lain di dunia, bukan sebagai pengekor atau agen pemikiran dan ekonomi negara lain.
Maka, dalam Islam pendidikan bukanlah ladang basah yang dijadikan bisnis oleh pengelola dan tidak pula berorientasi pada duniawi semata oleh pengajar dan pelajarnya. Semata-mata adalah implementasi hamba Allah yang tunduk dengan memaksimalkan karunia-Nya untuk ibadah dan menjadi khalifah di muka bumi. Perbaikan pendidikan haruslah perbaikan secara sistemik.
Oleh karenanya, tidak ada yang dapat memperbaiki negeri ini kecuali dengan Islam kaffah. Solusi buruknya pendidikan hanya akan bisa diperbaiki manakala Islam dijadikan sebagai satu-satunya sistem yang diterapkan. Sejarah telah membuktikan kebesaran Islam dengan syariatnya yang membumi, dan sistem sekuler kapitalis juga telah membuktikan hari ini dengan kerusakannya, lalu adakah yang dapat mengambil pelajaran?[]
Oleh: Musofah, Aktivis Muslimah
0 Komentar