Pajak Sudah Menjadi Nafas Kapitalisme
MutiaraUmat.com -- Tunjangan Hari Raya (THR) diberikan jelang Lebaran Namun, THR 2024 yang diberikan akan dipotong pajak. Sebab, THR yang diterima karyawan termasuk ke dalam objek PPh 21. Hal ini tertuang dalam Pasal 4 ayat 1 huruf a UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
Bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan WP bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk tunjangan.(detik.com, 28/3/2024)
Dilansir dari kompas.com (28/3/2024) potongan pajak tunjangan hari raya (THR) karyawan pada 2024 disebut-sebut lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu), Dwi Astuti mengatakan, penerapan sistem TER tidak menambah potongan pajak THR karyawan di 2024. Namun Dwi membenarkan bahwa jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong pada bulan diterimanya THR, dalam kasus ini pada Maret 2024, memang akan lebih besar dibandingkan bulan-bulan lainnya. Karena jumlah penghasilan yang diterima lebih besar, sebab terdiri dari komponen gaji dan THR.
Kebijakan pajak THR, tidaklah mengejutkan. Kebijakan ini justru semakin menunjukkan tata negara yang saat ini diatur menggunakan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme merupakan sebuah sistem kehidupan yang orientasi aturannya berlandaskan keuntungan materi. Sistem ini berbahaya, batil bahkan zalim ketika diterapkan.
Seperti saat ini, negara yang seharusnya menjadi pelayan untuk masyarakatnya justru menjadi negara pemalak. Negara kapitalisme menganggap pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara, maka tidak mengherankan jika negara sering membuat kebijakan untuk melegalkan pemungut pajak, seperti kebijakan pajak THR ini.
Begitulah realita hari ini, setiap tahun pemerintah selalu menaikkan target pajak. Padahal Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, tetapi pemasukan negara justru bergantung pada pajak. Bahkan, pemerintah nampak terus mencari apa saja yang bisa dikenai pajak tak terkecuali pajak tunjangan hari raya (THR).
Tentu ini logika yang membingungkan, namun inilah realitas negeri yang menerapkan sistem demokrasi kapitalis. Pajak menjadi sumber pendapatan utama negara selain utang, maka tak heran jika THR pun bisa menjadi sasaran pajak. Sementara pada saat yang sama penerimaan negara dari sektor pertambangan sangat minim. Padahal, negeri kita dikaruniai banyak tambang. Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi cadangan mineral yang sangat tinggi. Sayangnya pengelolaan sumber daya alam (SDA) mayoritas diserahkan kepada Asing, contohnya tambang emas di Papua yang dikuasai Freeport, geothermal di Gunung Salak yang dikuasai Chevron dan lainnya yang lagi-lagi hal ini legal dalam sistem kapitalisme. Kalaupun milik negara, maka mayoritas di privatisasi oleh oknum-oknum tertentu, seperti tambang batubara di Kalimantan yang dimiliki para pengusaha sekaligus penguasa negeri ini.
Pandangan Islam Tentang Pajak
Pengaturan pajak dalam Islam sangat berbeda dengan sistem kapitalisme. Dalam Islam, sesungguhnya tidak ada pajak yang diambil dari masyarakat seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme dimana barang-barang dikenakan pajak termasuk rumah, kendaraan, tanah, penghasilan, pakaian, hiburan bahkan makanan, minuman dan sebagainya.
Dahulu, Rasulullah SAW mengatur urusan-urusan rakyat dan tidak terbukti bahwa beliau memungut pajak atas masyarakat. Tidak diriwayatkan sama sekali bahwa beliau memungut pajak. Bahkan ketika Rasulullah SAW mengetahui bahwa orang di perbatasan daulah mengambil pajak atas komoditas yang masuk ke negeri, beliau melarangnya. Telah diriwayatkan dari Uqbah bin Amir bahwa ia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda,
"Tidak masuk surga pemungut cukai."
(HR. Ahmad dan disahihkan oleh Al- Hakim)
Shaahib al-Maksi adalah orang yang mengambil pajak perdagangan. Ini menunjukkan larangan mengambil pajak dengan prinsip kapitalisme. Memang tidak dimungkiri, dalam Islam pun dikenal adanya pajak dengan istilah dharibah, akan tetapi penerapan dan pengaturannya sangat berbeda secara diametral dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme.
Syekh Abdul Qodim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka. Dalam kondisi ketika tidak ada harta di baitul mal, maka kaum Muslim untuk membiayainya.
Dalam kitab Al-amwal fi Daulati al-Khilafah halaman 129, pajak bukanlah sumber tetap pendapatan baitul mal atau kas negara khilafah. Pendapatan ini bersifat insidental, yaitu ketika kondisi negara kosong dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya saja. Karenanya, ketika problem kekosongan kas negara sudah teratasi, maka pajak pun harus segera dihentikan. Dengan demikian pajak dalam Islam tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya.
Di sisi lain, Islam juga mewajibkan negara menjamin kesejahteraan rakyatnya melalui berbagai mekanisme, seperti menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan bagi laki-laki. Jaminan tersebut adalah bentuk jaminan tidak langsung dari negara agar masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka yang meliputi sandang, pangan dan papan.
Adapula jaminan kebutuhan dasar publik yang meliputi pendidikan, kesehatan dan keamanan. Kebutuhan tersebut akan dijamin langsung oleh negara. Sehingga semua masyarakat dapat menikmatinya dengan kualitas terbaik dan gratis. Seperti inilah gambaran sistem Islam mengatur terkait sumber pemasukan negara, pajak dan jaminan kesejahteraan rakyat. Semua ini akan terwujud manakala umat memiliki negara pe riayah, yakni Daulah Khilafah. []
Nabila Zidane
Jurnalis
0 Komentar