Perempuan Tidak Butuh Feminisme
MutiaraUmat.com -- Awal mula pergerakan feminisme dalam peradaban manusia sangat berkaitan erat dengan perubahan sosial di Eropa. Salah satu karya awal yang memelopori gerakan feminisme adalah tulisan Mary Wollstronecraft di Inggris melalui bukunya "A Vindication of the Right of Women" yang terbit pada tahun 1792 M. Tulisan tersebut muncul sebagai sebuah reaksi atas berbagai ketidakadilan terhadap perempuan di Eropa.
Bangkitnya berbagai gerakan perubahan di Eropa tersebut sangat berkaitan dengan kelahiran Renaissance di Itali. Renaissance berhasil memicu berbagai gerakan yang menuntut kebebasan penggunaan pemikiran, akal dan perilaku masyarakat dari pemasungan intelektual gereja.
Timbulnya kesadaran pemikiran ini memicu kaum perempuan untuk bangkit memperjuangkan hak-haknya. Hal ini disebabkan oleh kondisi perempuan Barat yang mengalami penghinaan, diskriminasi, marginalisasi pelecehan dan berbagai perlakuan buruk dari laki-laki baik di dalam keluarga, masyarakat dan gereja. Sebagai contoh pada tahun 1840 M, seorang suami di Inggris masih memiliki hak mengurung istrinya di rumah sekaligus menghalangi kebebasannya selama kurun waktu yang tidak terbatas. Perempuan Inggris harus menunggu hingga 1857 M untuk dapat menyimpan penghasilannya dan memiliki hak waris bagi wanita yang bercerai dan pada tahun 1893 M bagi wanita yang menikah. Mereka pun harus menunggu hingga 1928 M untuk mendapat hak pilih, untuk upah yang setara dengan laki-laki baru bisa mereka nikmati pada tahun 1975 M.
Di Amerika sendiri gerakan feminisme semula difokuskan untuk mendapatkan hak memilih yang baru berhasil diperoleh pada tahun 1920 M. Meski sempat tenggelam gerakan tersebut mulai bangkit lagi pada tahun 1963 M ketika Betty Friedan (seorang feminis Yahudi-Amerika) menerbitkan bukunya "The Feminine Mystique". Pemikirannya berhasil mengejutkan masyarakat karena dapat memberikan kesadaran baru bahwa selama ini perempuan Amerika ternyata berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Bukan hanya Eropa dan Amerika, ketika berbagai peradaban di dunia seperti Yunani kuno, Romawi kuno, India kuno, Arab pra Islam masih memandang rendah status perempuan.
Sejak awal kemunculannya, Islam telah mengangkat martabat perempuan yang belum pernah didapatkan oleh berbagai ajaran dan peradaban, baik di masa lalu maupun di masa sekarang. Mengenai hal ini Profesor Will Durant (penulis sejarah dan filsuf Amerika) menyatakan,
"Di Roma, hanya kaum lelaki saja yang memiliki hak-hak di depan hukum pada masa-masa awal negara republik. Kaum lelaki saja yang berhak untuk membeli, memiliki atau menjual sesuatu atau membuat perjanjian bisnis. Bahkan mas kawin istrinya menjadi miliknya pribadi apabila istrinya dituduh melakukan suatu tindakan kejahatan. Ia sendiri yang berhak menghakimi. Ia berhak menjatuhkan hukuman bagi istrinya mulai dari mengutuk sampai menghukum mati bagi tindakan perselingkuhan atau tindak pencurian yang dilakukan istrinya. Terhadap anak-anaknya, kaum lelaki memiliki kekuasaan mutlak untuk menghidupinya atau membunuhnya atau menjualnya sebagai budak. Proses kelahiran menjadi suatu perkara yang mendebarkan di Roma, jika anak yang dilahirkan cacat atau berjenis kelamin perempuan, sang ayah diperbolehkan oleh adat untuk membunuhnya."
Telah sangat jelas bahwa aturan Islam memiliki pandangan unik tentang keberadaan dan hubungan pria dan wanita serta bentuk kehidupan masyarakat yang hendak dibangun di atas landasan akidah Islam. Allah SWT menyatakan bahwa tugas manusia baik pria dan wanita adalah menghambakan diri kepadaNya. Keduanya adalah mitra satu sama lain dalam menjalankan tugas tersebut. Inilah sesungguhnya konsepi Islam tentang kesetaraan antara pria dan wanita dilihat dari konteks kemanusiaannya, yakni sebagai makhluk yang sama-sama berakal dan berpotensi untuk memilih kebaikan atau keburukan.
Dalam mengukur prestasi keduanya, Islam pun tidak membedakan dari sisi jenis keduanya sebagai pria atau wanita, melainkan dari tingkat ketakwaannya sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surah Al-Hujurat ayat 13,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Harmonisasi peran antara laki-laki dan perempuan yang sangat indah telah berhasil dibuktikan oleh Khilafah Ustmani. Hal ini digambarkan oleh Lady Craven (seorang wisatawan Inggris) pada tahun 1789 M (3 tahun sebelum Mary Wollstronecraft menerbitkan tulisannya tentang feminisme di Inggris) yang menulis buku "A Journey through the Crime to Constantinopel." Ia menyatakan bahwa perlakuan orang Turki terhadap para perempuan layak dijadikan contoh oleh semua negara dan perempuan Turki dalam kehidupan sehari-hari adalah makhluk bernafas yang paling bahagia.
Ignatius Mouradgea DOhson seorang Armenia yang bekerja bertahun-tahun di kedutaan besar di Swedia di Turki selama abad ke-18 juga menyatakan kekagumannya terhadap Khilafah Ustmani. Siapapun yang berperilaku buruk terhadap seorang perempuan, tidak peduli posisi dan agamanya, tidak akan lolos dari hukuman karena agama memerintahkan secara umum bahwa perempuan harus dihormati. Untuk alasan ini, baik polisi dan hakim menangani dengan sangat serius siapapun yang telah memperlakukan perempuan dengan buruk.
Dalam Islam, perempuan telah diberikan hak-haknya secara penuh tanpa harus menuntut, berjuang melakukan protes dan pemogokan. Sungguh, hukum Islam telah memenuhi hak perempuan sebagai seorang manusia sejak awal. Maka jelaslah, opini yang selama ini berkembang bahwa Islam telah menindas perempuan adalah sebuah propaganda licik sebagai sebuah bentuk kebencian terhadap Islam.
Jika Islam telah demikian sempurna mengatur hubungan laki-laki dan perempuan, maka sudah saatnya kita sebagai umat Islam menyatakan, "Kami tidak butuh feminisme, yang kita butuhkan adalah tegaknya kembali aturan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah." []
Nabila Zidane
Jurnalis
0 Komentar