Politik Oligarki Berkuasa, Rakyat Nelangsa
MutiaraUmat.com -- Periode 2021-2022 tren konflik agraria semakin meningkat. Konflik paling banyak berada di sektor perkebunan dan infrastruktur. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengatakan sepanjang tahun 2022 organisasinya mencatat ada 212 ‘letusan’ konflik agraria, mencakup 1.035.613 hektar lahan dan 346.402 KK terdampak. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2021 dimana luas lahan terdampak 500.062 hektar dan 198.895 KK menjadi korban, dikutip dari peluncuran Catahu KPA Tahun 2022 di Jakarta, Senin (9/1/2023).
Semua proyek nasional baik Infrastruktur maupun pertambangan justru dikuasai para oligarki, alih-alih mewujudkan kesejahteraan rakyat, semua mega proyek justru menyisakan konflik agraria. Hak rakyat sebagai pemilik tanah digusur dan dikesampingkan, diintimidasi, dimanipulasi, diteror, dipaksa, diusir, dirampas bahkan dipenjarakan demi kepentingan oligarki.
Negara memindahkan tanggung jawab dan wewenangnya kepada korporasi dan oligarki demi keuntungan semata, tanpa peduli dengan kemaslahatan rakyat. Negara hanya bertindak sebagai regulator untuk memuluskan kebijakan-kebijakan para pemilik modal.
Didukung adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja dan UU Minerba semakin memuluskan politik oligarki. Dengan Legitimasi UU tersebut para pengusaha akan dengan legal merampas kekayaan alam untuk bisnis mereka. Mulai dari bisnis pertambangan, perkebunan, proyek strategis nasional (PSN) dan kawasan ekonomi khusus (KEK). Demikian juga banyaknya pembangunan infrastruktur yang memakan banyak biaya, meliputi pembangunan jalan tol, ibu Kota Negara (IKN), Kereta Cepat, Bandara dan sebagainya.
Adanya pemilu di sistem demokrasi, yang membutuhkan biaya tinggi untuk merebut suara rakyat, menjadikan terbuka peluang transaksi antara partai politik, anggota dewan dengan oligarki yang siap mengucurkan dana. Sebagai balas budi terpilihnya menjadi penguasa, memudahkan oligarki menentukan kebijakan membuat UU untuk menguasai kekayaan dan Infrastruktur penting negara. Meskipun banyak rakyat yang harus dikorbankan dengan dalih pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Selama negara masih mengadopsi sistem demokrasi kapitalisme, politik oligarki akan terus berkuasa dan rakyat semakin nelangsa. Kepentingan rakyat jauh dari prioritas, semua kekayaan alam, tambang, Infrastruktur dan berbagai regulasi hanya berpihak kepada kepentingan kapitalis dan oligarki. Hak dan kesejahteraan rakyat tak lagi dipedulikan.
Politik oligarki merupakan alat penjajahan yang tersrtuktur, dengan dalih investasi dan pembangunan hanya akan menguras kekayaan negara.
Berbeda dengan politik Islam yang berorientasi hanya kepada kesejahteraan rakyat dengan penerapan hukum Islam kaffah.
Dalam sistem politik ekonomi Islam kepemilikan dibagi menjadi 3 yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Kepemilikan umum yang meliputi air, api dan padang rumput ini, tidak boleh dikuasai dan dimonopoli oleh individu maupun oligarki. Negera akan mengelola kepemilikan umum kemudian mendistribusikan kepeda seluruh kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Pemimpin atau khalifah adalah perisai umat, yang mengurusi dan menjamin seluruh urusan umat baik dalam hal penjagaan aqidah, memutuskan perkara sesuai syariat Islam, maupun menjamin kebutuhan dasar masyarakat. Semaksimal mungkin negara membangun kemandirian ekonomi agar jauh dari intervensi oligarki maupun korporasi, sehingga tidak akan ada lagi perampasan lahan rakyat maupun pengerukan kekayaan alam.
Penerapan politik Islam sudah terbukti selama 14 abad membawa kesejahteraan dan kejayaan Islam dalam sejarah peradaban manusia. Untuk itu kta upayakan kembali politik Islam mengatur kehidupan kita, karena saat syariat Islam diterapkan kebaikan, ketentraman, ketenangan, kemakmuran, kesejahteraan, kemulian hidup dapat dirasakan dan kerberkahan Allah akan dicurahkan dan dilimpahkan untuk seluruh makhluknya.[]
Yesi Wahyu I.
Aktivis Muslimah
0 Komentar