PHK Masal Kembali Mengancam Buah Busuk Sistem Ekonomi Kapitalis
MutiaraUmat.com -- Ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal kembali menghantui pada awal tahun 2024, seiring dengan berlanjutnya ketidakpastian ekonomi global. Krisis yang merayap ke seluruh dunia bahkan telah diprediksi akan memasukkan dunia ke dalam resesi. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh perusahaan Resume Builder, PHK massal diperkirakan akan menjadi kenyataan pada tahun 2024 ini. Dari 400 perusahaan yang disurvei, mayoritas merencanakan PHK sebagai respons terhadap antisipasi resesi, dengan sebagian kecil yang berniat menggantikan tenaga kerja dengan kecerdasan buatan (AI). Data menunjukkan bahwa 42% perusahaan menengah, 39% perusahaan besar, dan 28% perusahaan kecil berencana melakukan PHK pada tahun 2024 (CNBC Indonesia, 29-12-2023).
Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat bahwa sejak awal 2023, sudah ada 7.200 buruh yang menjadi korban PHK. Namun, jika ditotal dari 2020 hingga 2023, jumlah korban PHK mencapai sekitar 56.976 orang. Mayoritas dari sektor-sektor seperti pabrik garmen, tekstil, ekspedisi, kulit, mebel, ritel, sepatu, dan suku cadang. Alasannya adalah kesulitan menghadapi serbuan produk impor, baik yang legal maupun ilegal, yang menyebabkan penumpukan stok di pabrik dalam negeri dan berujung pada pengurangan produksi hingga PHK.
Tak hanya sektor swasta, bahkan pada akhir tahun 2023, tujuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dianggap tidak sehat telah resmi dibubarkan oleh pemerintah. Pada saat yang sama, setidaknya 15 BUMN tengah menjalani pemeriksaan oleh PT PPA untuk restrukturisasi, penyehatan, atau pembubaran. Alasan di balik penutupan ini adalah kinerja yang buruk, kondisi finansial yang buruk, dan over-leverage yang tinggi (Tirto, 29-12-2023).
PHK dalam kerangka sistem ekonomi kapitalis pada dasarnya merupakan langkah untuk mengantisipasi resesi dan melindungi kelangsungan bisnis. Namun, PHK juga dapat disebabkan oleh ketidakmampuan suatu negara menghadapi serbuan produk impor, perlambatan ekonomi di negara tujuan ekspor, dan kemajuan AI yang sulit diatasi. Penyebab utama dari permasalahan PHK yang berujung pada pengangguran adalah penerapan sistem kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalis yang mengedepankan paradigma "yang kuat dialah yang menang" cenderung membuat para pekerja menjadi korban dari egoisme pengusaha yang lebih memprioritaskan keselamatan perusahaannya, tanpa memperhatikan nasib pekerja.
Di sisi lain, negara justru tidak memainkan peran pelindung yang efektif terhadap rakyatnya, salah satunya dengan tidak menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai. Negara seharusnya mampu menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan yang memadai bagi rakyat, bukan meninggalkannya tergantung pada kebijakan perusahaan. Namun, sistem kapitalisme yang diterapkan telah menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara penawaran tenaga kerja dan kebutuhan tenaga kerja.
Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan oleh kapasitas sektor formal yang terbatas atau tidak sesuai antara peluang kerja yang ada dengan keterampilan yang diperlukan, sehingga kesempatan kerja justru diisi oleh Tenaga Kerja Asing (TKA). Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh pihak asing juga mengurangi peluang terciptanya lapangan pekerjaan bagi rakyat. Selain itu, sistem politik demokrasi cenderung mendukung kebijakan yang menguntungkan pemilik modal.
Dampaknya adalah banyaknya rakyat yang kehilangan pekerjaan dan timbulnya pengangguran baru. Contoh konkret adalah kebijakan yang memudahkan korporasi untuk menguasai lahan atas nama pertumbuhan ekonomi, memaksa rakyat untuk meninggalkan tempat tinggal mereka dan menyebabkan kehilangan sumber mata pencaharian. Kebijakan investasi juga berkontribusi pada pengalihan fungsi lahan, merugikan banyak petani yang kehilangan mata pencaharian. Pendirian pabrik-pabrik juga memaksa rakyat untuk bekerja sebagai buruh semata.
Ketika sistem menjadi akar masalah, solusinya harus berasal dari sistem itu sendiri. Sistem kapitalis, yang menempatkan negara sebagai pengusaha (tujjar), berbeda dengan sistem Islam yang menempatkan negara sebagai penanggung jawab (raa'in) bagi rakyatnya, sebagaimana orang tua kepada anak-anaknya. Negara yang mampu mewujudkan sistem Islam tersebut hanyalah khilafah yang menerapkan sistem Islam Kaffah, termasuk sistem ekonomi Islam dan sistem politik Islam.
Khilafah sebagai pemimpin negara akan mengeluarkan aturan yang tidak memihak kepada segelintir individu, namun memihak kepada seluruh rakyat. Khilafah juga menjamin kesejahteraan rakyat melalui berbagai mekanisme dalam kerangka sistem ekonomi Islam. Salah satu diantaranya adalah penyediaan lapangan kerja yang luas dan kemampuan untuk mengantisipasi kemajuan teknologi, sehingga tetap tersedia lapangan kerja bagi rakyat meskipun teknologi terus berkembang.
Rakyat akan diberikan kemudahan untuk membuka usaha tanpa proses birokrasi yang rumit dan pajak yang memberatkan. Mereka dapat memulai usaha mereka sendiri, bahkan dapat mempekerjakan sesama masyarakat. Dengan cara ini, tenaga kerja dapat terserap secara otomatis. Bagi masyarakat yang mampu mengelola tanah (lahan pertanian), negara akan memberikan tanah tersebut agar para petani dapat menggarap sawah dan hasilnya adalah hak milik mereka. Tidak hanya itu, negara bahkan akan menyediakan modal jika diperlukan. Negara juga akan menetapkan aturan yang jelas mengenai hubungan antara pekerja dan pemberi kerja, melarang segala bentuk penindasan. Bahkan, negara akan menunjuk individu yang bertugas menentukan besaran gaji sesuai dengan pekerjaan yang dijalankan.
Dalam Islam, ada larangan untuk mengelola Sumber Daya Alam (SDA) oleh pihak asing atau swasta. Islam memandang SDA sebagai kepemilikan umum yang hasilnya harus didistribusikan dalam berbagai bentuk pelayanan kepada masyarakat. Negara Islam Khilafah akan mengelola SDA sendiri agar dapat membuka banyak lapangan kerja bagi rakyat dan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan setiap individu. Terkait dengan teknologi kecerdasan buatan (AI), negara akan memanfaatkannya secara maksimal demi kemaslahatan rakyat dan negara. Misalnya, dengan menyediakan pelatihan agar pekerja dapat mengikuti perkembangan teknologi. Namun, semua hal ini hanya dapat diterapkan dalam konteks pemerintahan Islam, yakni khilafah. []
Oleh: Rifda Qurrotul 'Ain
Aktivis Muslimah
0 Komentar