Jadi Muslim tetapi Masih Jahiliah
MutiaraUmat.com -- Sudah masuk Islam atau Muslim namun masih jahiliah, siapa yang dikatakan seperti itu oleh Rasulullah SAW? Dia adalah Abu Dzar Al-Ghifari ketika mengeluarkan kata-kata rasis kepada Bilal bin Rabah.
Kejadian ini bermula ketika Abu Dzar Al-Ghifari mengeluarkan pendapatnya tentang strategi perang kemudian Bilal menolak pendapat dari Abu Dzar tersebut.
Sontak Abu Dzar berkata kepada Bilal, "Beraninya kamu menyalahkanku, wahai anak wanita berkulit hitam? La ilahaillallah! Bercerminlah engkau. Lihatlah siapa dirimu sebenarnya?"
Sebagai manusia Bilal pun tersinggung atas ucapan ini, namun emosi Bilal mendorongnya lari menghampiri Rasulullah SAW dan mengadukan peristiwa itu kepada Rasulullah SAW. Abu Dzar pergi mengejar Bilal sampai menjumpainya di hadapan Rasulullah SAW, dan Abu Dzar mengucap salam.
Laksana pengadilan, ada pelaku dan pengadu. Dan Rasulullah SAW adalah hakim di setiap perkara kaum Muslim saat itu.
Mendengar aduan Bilal, Rasulullah SAW pun tak dapat menyembunyikan kemarahannya. Hal itu nampak pada rona wajah Rasulullah SAW yang langsung berubah dan terbaca oleh Abu Dzar Al-Ghifari. Rasulullah SAW bersabda, "Wahai Abu Dzar, engkau telah menghinakannya dengan merendahkan ibunya. Di dalam dirimu terdapat sifat Jahiliah."
Mendengar Sabda Nabi SAW, Abu Dzar menangis. Abu Dzar meminta maaf kepada Rasulullah SAW dan meminta ampunan Allah SWT atas kesalahannya, kemudian ia meletakkan kepalanya di atas tanah yang hendak dilalui oleh Bilal bin Rabah, ia meminta Bilal menginjak pipinya. Seraya berkata, "Engkau lah orang yang mulia dan akulah orang yang hina."
Akhirnya Bilal tidak memenuhi permintaan Abu Dzar, ia telah memaafkan dan mengikhlaskan perkataan Abu Dzar sebelumnya.
Dari kisah di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa menjadi Muslim saja itu belum cukup untuk mendapatkan Ridha Allah SWT dan syafaat Rasulullah SAW. Karena Ridha Allah SWT itu sangat detail dan terinci di dalam Al Qur'an dan Sunnah.
Termasuk dalam politik, Allah SWT dan RasulNya telah mencontohkan sikap politik yang benar yang diridhai oleh Allah SWT. Yaitu tidak mengkompromikan antara yang haq dengan yang batil. Rasulullah SAW tidak mencampurkan antara apa-apa yang turun melalui Wahyu dengan tawaran kedudukan dari Abu Jahal dan pemuka Quraisy lainnya.
Demikian hari ini, kita sudah seharusnya tidak mencampurkan antara Islam dengan demokrasi. Tidak ada alasan demi suara yang nanti dimanfaatkan oleh orang-orang non Muslim, karena telah jelas larangan Allah SWT kepada kita menggunakan hukum buatan manusia.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50)
Allah telah menegaskan teguran kepada manusia bahwa ketika mereka menghendaki hukum buatan manusia (hukum Jahiliah) hal itu tidaklah lebih baik dari pada hukum Allah SWT. Sebagai orang beriman yang meyakini Allah SWT dan Al Qur'an adalah Kalam Allah tentunya harus memilih hukum Allah yang terbaik untuk manusia.
Allah SWT juga menegaskan bahwa menjalankan hukum-hukumnya adalah suatu kewajiban.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
سُوْرَةٌ اَنْزَلْنٰهَا وَفَرَضْنٰهَا وَاَ نْزَلْنَا فِيْهَاۤ اٰيٰتٍۢ بَيِّنٰتٍ لَّعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
"(Inilah) suatu surah yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukumnya), dan Kami turunkan di dalamnya tanda-tanda (kebesaran Allah) yang jelas, agar kamu ingat."
(QS. An-Nur 24: Ayat 1)
Menurut tafsir Ibnu Katsir untuk QS. An Nur 1, meskipun ayat ini mengatakan inilah satu surah yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk dijalankan seluruh hukum-hukumnya namun bukan berarti surah yang lain diabaikan atau tidak diperhatikan.
Jadi, seluruh isi Al-Qur'an adalah wajib dijalankan semua seruan-seruanNya.
Sebagai Muslim yang Mukmin hari ini sudah seharusnya memahami hakekat dari menghendaki demokrasi tetap berjalan adalah sebuah dosa investasi yaitu menghendaki hukum-hukum Jahiliah buatan manusia dijalankan untuk mengatur kehidupan manusia. Alhasil derita dan nestapa dunia akhirat akan tetap menyelimuti.
Realita yang ada untuk mengenakan hijab saja mulai di persekusi di beberapa instansi sekolah dengan alasan hak asasi manusia dan demokrasi. Lebih dari itu, banyaknya Muslim yang meninggalkan shalat dan puasa di bulan Ramadhan juga tidak mendapatkan peringatan dan hukuman dari negara agar tidak menular atau mempengaruhi generasi berikutnya, dengan alasan hak asasi manusia dan negara demokrasi.
Sisi Individu
Dari sisi individu yang telah hijrah pun, kerap dijumpai pengaruh digitalisasi terkadang membuat mereka lupa sebenarnya perbuatan mana saja yang harus dibuang jauh-jauh dan perbuatan mana saja yang harusnya diikuti.
Demi sebuah eksistensi dunia maya, tak jarang mereka membuat konten berisi hal-hal yang tak seharusnya dikerjakan seorang Muslim yang Mukmin.
Dalam dunia nyata pun tak jarang dijumpai pribadi yang telah hijrah dan mengkaji Islam namun masih memiliki kepribadian yang dilarang Islam. Seperti perilaku hasad atau dengki, dendam yang berkepanjangan hanya karena alasan pembenaran menurut kacamata sendiri yang kerap dihiasi hawa nafsu.
Sehingga membawanya pada kebencian sesama Muslim hingga enggan bertegur sapa, bersalaman atau bahkan tak mau dikunjungi walau masih kerabat hanya karena dendam lama atau sakit hati karena peristiwa lampau yang dibahasakan luka batin.
Hari ini tidak ada Rasulullah SAW yang bisa kita kunjungi dan mengadukan sikap seseorang, kemudian meminta nasehat bagaimana kita menyikapinya. Namun, sejatinya Rasulullah SAW telah mewariskan hukum yang berlaku dalam berinteraksi sesama manusia yaitu:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berbicara yang baik-baik atau diam." (HR Al Bukhari)
Selain dari pada itu, jika kita mendapatkan sikap atau perilaku layaknya Bilal bin Rabah yang istilah sekarang dinamakan buliying verbal maka cukup dengan mengikhlaskan atau tabayun.
Karena apa yang dilakukan orang lain kepada kita sebagaimana apa yang dilakukan Abu Dzar kepada Bilal adalah perkara di luar kendali Bilal atau manusia yang mendapatkan sikap atau perkataan buruk.
Hal ini dalam Islam dinamakan Qadha yaitu setiap perkara di luar kendali kita, Allah SWT mewajibkan bagi kita untuk mengikhlaskan setiap qadha yang menimpa kita dan memberikan balasan berupa kebaikan dunia dan akhirat.
Mungkinkah Bilal memiliki luka batin, sebagaimana istilah yang diaruskan saat ini? Tidak! Karena Bilal sudah mengikhlaskan sesaat setelah mengadukan masalahnya kepada Rasulullah SAW sehingga nampak mana yang haq dan mana yang batil.
Sikap apa yang harusnya diambil setelah putusan hakim adalah ikhlas. Jika yang bersalah telah dinasehati oleh Rasulullah SAW dan bertaubat, maka sebagai Muslim yang Mukmin adalah mengikhlaskan bukan menumpuk hasad atau dengki atas nama luka batin.
Apabila tidak bisa mengikhlaskan maka dalam Islam ada solusi berikutnya yaitu tabayun. Namun, jika tabayun dikhawatirkan justru hanya akan menimbulkan keburukan maka cukuplah bagi orang yang menerima perkataan buruk sebagaimana Bilal adalah ikhlas atas perkara tersebut, bukan diam dan mendendam.
Semoga kita bisa memperbaiki diri kita dalam proses hijrah secara kafah. Saat ini kita sedang berproses menuju sukses dunia dan akhirat maka lakukan amalan terbaik yaitu saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan takwa.
Sering menghisab diri sebelum dihisab oleh Allah kelak di akhirat agar terbentuk kepribadian Islam dari dalam diri. Kepribadian Islam adalah pola sikap yang dipimpin oleh pola pikir Islam, bukan pola pikir yang dihiasi hawa nafsu dan perbuatan kebanyakan orang yang ditiru.
Mari menjadi Muslim kafah jangan sampai menjadi Muslim Jahiliah, yaitu Muslim yang mengadopsi pemahaman di luar Islam. Termasuk adalah pembenaran-pembenaran istilah luka batin, berdamai dengan diri seolah menjadi solusi. Padahal di dalam Islam telah jelas ikhlas adalah solusi ketika menghadapi sesuatu di luar kendali kita.
Seolah disamarkan dengan istilah berdamai dengan diri yang bias cara berdamai yang bagaimana? Apakah hanya mendiamkan, membenarkan diri sendiri dan memupuk hasad. Sungguh ini berbahaya sekali jika diadopsi menjadi perilaku para muslimah yang telah berproses hijrah.
Di sini sangat diperlukan peran khilafah sebagai tameng atau pelindung bagi setiap Muslim dari pengarusan pemikiran yang bersifat kabur, bias dan multidefinisi yang bersumber dari akidah rusak yaitu sekularisme.
Ketika khilafah tegak, pemikiran ini tidak akan tersebar, yang tersebar adalah pemikiran-pemikiran Islam sehingga sangat marak Muslim yang memiliki kepribadian Islam. Sehingga harmonisasi kehidupan sosial terwujud dalam khilafah. Waallahualam bi shawab
Oleh: Heni Trinawati, S.Si
(Analis Mutiara Umat Institute)
0 Komentar