Lahan Bersertifikat Digusur, kok Bisa?
MutiaraUmat.com -- Penertiban lahan milik PT KAI (Kereta Api Indonesia) Drive IV Tanjung Karang, Lampung; yang berada di jalan Rambutan, Kelurahan Pasir Gintung, Tanjung Karang Barat, Bandar Lampung; Selasa (28/11/2023) siang, diwarnai kericuhan dan isak tangis (www.beritasatu.com).
Kericuhan ini terjadi karena warga yang menempati lahan tersebut mempertahankan rumah mereka yang akan digusur. Warga berusaha mempertahankan rumahnya yang telah ditempati sejak puluhan tahun lalu, karena memiliki sertifikat kepemilikan tanah yang diterbitkan oleh negara pada 1968. Sementara PT KAI Tanjung Karang menyatakan memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) nomor 187 yang terbit pada tahun 2016, berdasarkan dari grondkaart yang dimiliki PT KAI.
Manager Humas Divre IV Tanjung Karang, Azhar Zaki Assjari mengatakan, pihaknya menghormati proses lanjutan yang akan dilakukan pihak keluarga. Pihaknya hanya menjalankan tugas untuk mengamankan aset negara. Azhar Zaki menambahkan, pihaknya telah melakukan berbagai upaya pendekatan dan prosedural, sebelum melakukan penertiban dengan mengirimkan Surat Peringatan (SP). Karena tidak ada itikad baik dari penghuni rumah untuk mengosongkan, maka dilakukan penggusuran dibantu aparat TNI dan Polri.
Sungguh miris kondisi rakyat hari ini. Mereka hidup dalam ketidakpastian. Barang pokok seperti pangan semakin mahal dan tidak terjangkau. Ditambah lagi lahan sebagai kebutuhan papan mereka, mendapat ancaman penggusuran. Sertifikat tanah tidak menjamin hak utuh kepemilikan.
Penggusuran lahan ini sejatinya konsekuensi logis dari penerapan ekonomi kapitalisme, yang menganut prinsip kebebasan. Siapa pun yang memiliki modal, yang menguasai negara. Maka wajar banyak oligarki yang lahir. Inilah penyebab kesengsaraan rakyat. Karena kerakusan mereka, harta milik rakyat pun dikuasai. Misalnya jika mereka menginginkan lahan investasi pembangunan, dan hal ini harus menggusur lahan warga, maka akan tetap dilakukan. Parahnya, penggusuran ini didukung negara dan aparat keamanan, sebagaimana yang terjadi di Rempang. Demi pembangunan Rempang Eco City, warga yang di sana terancam digusur paksa oleh aparat. Penggusuran yang terjadi di Tanjungkarang Lampung, semakin menambah panjang daftar konflik lahan antara negara dan rakyat.
Pengaturan tersebut sangat berbeda dengan cara negara Islam yaitu Khilafah, dalam mengurus rakyatnya. Khilafah tidak akan mengizinkan oligarki menguasai dan semena-mena terhadap rakyat. Kekayaan dan kekuasaan yang mereka miliki, tidak akan berarti dalam Khilafah. Sebab Islam telah menetapkan siapa pun yang diamanahi kekuasaan, maka kekuasaan itu harus digunakan untuk menerapkan Syariat Islam secara kafah dalam mengurus dan umat. Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Setiap kalian adalah pemimpin (raa’in) dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang pasti akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyatnya” (HR Al-Bukhari).
Oleh karena itu, khalifah akan berhati-hati dan berusaha optimal mengurus rakyat. Mereka khawatir kepemimpinanny akan menimbulkan penderitaan bagi rakyat. Mereka juga memastikan setiap kebijakan apa pun yang diambil, dasarnya untuk kemaslahatan rakyat dan terpenuhinya hak dan kebutuhan seluruh warga negara.
Jika ada pejabat yang melakukan pelanggaran dan tindakan semena-mena, Khalifah akan menegur dan menghukumnya. Dengan konsep dan kepemimpinan yang demikian, maka tidak akan ada kasus penggusuran lahan semena-mena, sebagaimana yang marak terjadi saat ini, demi kepentingan oligarki. Khalifah tegas dan jelas menerapkan hukum sesuai syariat.
Terkait lahan, Islam telah jelas menetapkan ada tiga kepemilikan lahan. Pertama, lahan milik individu, seperti lahan hunian, pertanian, ladang, kebun, dan sebagainya. Kedua, lahan milik umum, seperti hutan, tambang, dan sebagainya. Ketiga, lahan milik negara, yaitu lahan yang tidak berpemilik dan yang di atasnya terdapat harta milik negara, seperti bangunan milik negara. Sehingga ketika sebuah lahan telah dijadikan pemukiman warga dan tidak menimbulkan bahaya dari lahan tersebut, misalnya daerah rendah yang menyebabkan longsor dan banjir, khilafah tidak akan melakukan penggusuran.
Hal ini pernah terjadi ketika pada masa pemerintahan Khalifah Umar. Kala itu di Mesir yakni Amr bin Ash melakukan proyek perluasan masjid. Perluasan tersebut ternyata memakan lahan dan rumah seorang Yahudi. Gubernur Amr bin Ash telah bernegosiasi dengan Yahudi dengan ma’ruf, yakni dengan membeli tanah tersebut. Hanya saja Yahudi tersebut menolak dan pergi ke Madinah untuk menemui Khalifah Umar dan menceritakan perihal ini. Yahudi tersebut hanya diberi bekal berupa tulang yang tekah disayat dan diberi pesan untuk memberikannya kepada Gubernur Amr bin Ash. Tatkala Gubernur Amr menerima tulang itu, beliau bergetar dan tidak melanjutkan proyek perluasan masjid ke arah rumah Yahudi tersebut. Melihat keadilan ini akhirnya orang Yahudi itu masuk Islam dan menyetujui lahannya untuk perluasan masjid.
Inilah kejelasan kepemilikan lahan dalam Islam. Tidak ada prinsip kebebasan dalam Islam, atau pun prinsip kediktatoran sehingga negara selalu memaksakan kehendaknya, karena dengan keadilan hakiki pasti terdapat dalam Islam karena berasal dari Allah SWT yang pasti maslahat bagi manusia. Maka khilafah selalu memastikan penerapan aturan Islam secara kafah oleh negara, dipastikan akan menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi semua, baik Muslim maupun non muslim, bahkan seluruh alam semesta.
Walllahu’alam Bishshawab
Oleh: Irawati Tri Kurnia
Aktivis Muslimah
0 Komentar