Dampak Perampasan Ruang Terhadap Ibu dan Anak Akibat Kebijakan Oligarki
MutiaraUmat.com -- Salah satu elemen penting bagi kehidupan manusia adalah tanah. Tanah memiliki peran penting bagi pemenuhan kebutuhan dasar tiap manusia yakni sandang, pangan dan papan. Ketiga hal tersebut berkaitan dengan tanah. Bahkan, sebelum kehidupan modern yang serba mudah seperti saat ini, baik dalam perindustian, perdagangan dan jasa, manusia telah menggantungkam hidupnya di permukaan tanah berupa lahan (hutan) untuk mencari makanan dan tempat berlindung, serta berburu.
Begitu pula dengan kebutuhan dasar seperti air, udara bersih, iklim, infrastruktur seperti jalan, dan semua sarana untuk memenuhi hajat pendidikan, kesehatan, dan sebagainya, seluruhnya terkait langsung dengan tanah.
Lahan adalah tanah di muka bumi yang memiliki fungsi sosio-ekonomi bagi masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, tanah memiliki dimensi ruang. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, lautan, dan udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Dalam kehidupan masyarakat yang makin kompleks, tanah makin memegang peranan penting. Semakin padatnya manusia tentu menjadi tantangan dalam penataan ruang untuk tempat tinggal dan ruang hidup. Sehingga ketidaktepatan dalam tata ruang berpotensi menyebabkan konflik berkepanjangan.
Perampasan Ruang Akibat Alih Fungsi Lahan
Alih Fungsi Lahan atau Konversi Lahan merupakam perubahan sebagian atau seluruh fungsi lahan dari fungsi semula menjadi fungsi yang lain dan mempengaruhi lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Seperti pembangunan perumahan, pariwisara, perkantoran dan industri. Lahan pertanian berganti menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, dan pembukaan pertambangam batubara, bijih besi dan emas.
Di Kalimantan Selatan, luasan lahan sawah di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan (Kalsel) terus tergerus seiring masifnya alih fungsi lahan menjadi kawasan perumahan.
Catatan Dinas Pertanian Kabupaten Banjar, sekitar 3.222 hektare lahan sawah berkurang dalam kurun 2019 - 2023. Demikian juga dengan hasil panen, gabah yang dihasilkan para petani pada tahun 2022 ditaksir 127.156 ton. Jumlah tersebut berkurang dari tahun 2021 yang menghasilkan gabah 169.163. Artinya, berkurang 43.007 ton gabah. (banjarmasin.apahabar.com, 01/11/2023)
Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, menyebutkan, banjir di Kalimantan Selatan kali ini karena 50 persen lahan di Kalimantan Selatan telah beralih fungsi menjadi tambang batubara dan perkebunan sawit. Dipaparkan bahwa 33 persen lahan atau 1.219.461,21 hektar sudah dikuasai izin tambang, sementara 17 persennya atau 620.081,90 hektar sudah dijadikan perkebunan kelapa sawit. Selain itu, luas hutan sekunder 581.188 hektar dan luas hutan primer hanya 89.169 hektar. (merdeka.com, 19/01/2021)
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah V Banjarbaru mencatat tiga tahun terakhir luasan hutan di Kalimantan Selatan berkurang mencapai 30 ribu hektare lebih akibat alih fungsi menjadi perkebunan dan pertambangan.
Dampak Buruk bagi Perempuan dan Anak
Di antara dampak buruk yang akan terjadi akibat alih fungsi lahan, khususnya bagi perempuan dan anak, diantaranya, pertama, aspek kesehatan generasi. Alih fungsi lahan menjadi perkebunan oleh perusahaan-perusahaan besar milik pengusaha akan terus terjadi akibat adanya pembolehan dari negara.
Kabut asap dari karhutla sangat mengganggu dan berbahaya, seperti menyebabkan penyakit ISPA. Bahkan menyebabkan efek jangka panjang jika terjadi kebakaran hutan dalam waktu yang lama dengan paparan yang cukup tinggi. Data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Kalimantan Selatan, sebanyak 189.111 kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang dialami warga Kalimantam Selatan selama Januari sampai September 2023. (databoks.katadata.co.id, 13/09/2023)
Alhasil, keadaan ini tentu memberikan dampak buruk bagi kesehatan anak kini dan masa mendatang. Padahal anak-anak ini adalah calon generasi pembangun peradaban bangsa pada masa depan. Sehingga jrlas bahwa tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kebijakam negara mengakibatkan penderitaan generasj, salah satunya dalam bidang kesehatan.
Kedua, derita akibat konflik agraria. Kehilangan kepemilikan laham dan tempat tinggal ternyata bukan akhir penderitaan bagi warga yang tergusur.Kehilangan mata pencaharian yang telah dijalani sejak nenek moyang, akan semakin menggoncangkan aspek perekonomian keluarga. Imbas terhadap perempuan fan anak pun tak terelakkan. Kebutuhan gizi, sandang dan papan tak dapat tertunaikan.
Pun diberikan kompensasi sebagai ganti, kerap dengan jumlah dan kualitas yang sangat minimalis. Belum lagi harus berjuang dan beradaptasi di lahan baru yang tidak menentu. Tentu ini menumbuhkan sejumlah persoalan baru lagi.
Demkian pula berkurangnya ruang bermain anak. Hal ini akan menjadi ancaman bagi tumbuh kembang kedepannya. Batas ruang yang.hilang menyebabkan anak mudah menyerao berbagai pola tingkah laku di lingkungan tempat tinggal. Penanaman pendidikan ideal yang telqh dibangun dalam lingkup keluarga, hanya dalam sekejap bisa dibuyarkan.
Politik Kapitalisme vs Politik Islam
Penderitaan terhadap perempuan dan anak tidak bisa dipisahkam dari praktik oligarki. Sejumlah regulasi melegalkan perampasan tanah, faktanya tak lepas dari campur tangan oligarki. Simbiosis mutualisme antara pemangku kebijakam dan oligarki menjadikam demokrasi sebagai wadah terbaiknya. Hasilnya, lahirlah kebijalam yang menzalimi rakyat. Lihatlah, kala rakyat meminta hak atas tanahnya, penguasa justru berdiri disamping korporasi, menjadi perpanjangan tangan mereka dalam menyelesaikam konflik antara rakyat dan perusahaan.
Bentuk pengaturan urusan rakyat oleh rezim, berkubang dalam politik oligarki. Sistem demokrasi kapitalisme meniscayakan politik oligarki ini lahir. Dengan demokrasi yang berbiaya mahal, muncul celah bagi para oligark mengantarkan calon penguasa duduk di tampuk kekuasaan eksekutif dan legislatif. Alhasil, kebijakan yang dibuat dan disahkan oleh penguasa tidak akan pernah berpihak pada rakyat, melainkan pada para oligarki. Sejahtera hanya jadi milik mereka.
Berbeda dengan politik Islam. Politik Islam menyejahterakan semua orang. Aturan Islam bersandarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dijalankan. Dalam pandangan Islam, lahan dan harta pada hakikatnya adalah milik Allah Swt. yang mengizinkam kepemilikan atas harta dan tanah.
Kepala negata 'khalifah' adalah periayah yang mengatur, mengayomi, dan mrlindungi urusan umat, bukan malah mengurusi segelintir oligarki. Rasul SAW bersabda, "Imam (khalifah) adalah pelayan dan ia bertanggung jawan terhadap uruusan rakyatnya." (HR Bukhari)
Pemimpin dalam Islam bertanggung jawab dalam pemenuhan hajat asasi rakyatnya, baik individual (sandang, pangan, dan papan) serta komunal (kesehatan dan pendidikan). Khalifah wajib menyediakan dengan harga terjangkau, bahkan cuma-cuma. Negara ini bukanlah ilusi, tetapi nyata, pernah berdiri selama 13 abad. Dengan demikian, semkakin terlihat kegagalan sistem kapitalisme, dan semakin hadir kerinduan akan perisai umat, yang insyaAllah akan tiba dalam waktu dekat. Wallahu a'lam. []
Oleh: linda Maulidia, S.Si.
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar